Kampoeng Kajoetangan: Membongkar Kembali Sejarah Malang yang Sering Terlupakan
Berbicara tentang peninggalan sejarah yang ada di kawasan Kayutangan, mungkin yang pertama muncul di benak masyarakat adalah Toko Oen yang sudah berdiri kokoh sejak 1930an sampai saat ini, atau bahkan Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus yang sudah berdiri sejak tahun 1897. Usut punya usut, menyebutkan bahwa kawasan Kayutangan ini ternyata pernah menjadi pusat perdagangan dan jasa yang terkemuka pada zaman penjajahan Belanda, kira-kira terjadi pada tahun 1930-1942 seperti dikutip dari situs Malangretro.com.
Namun, semuanya berubah pada masa kepemimpinan Walikota Sutiaji. Kawasan yang dulunya adalah pemukiman warga biasa telah dipugar menjadi sebuah kawasan wisata yang menarik. Jalan Kayutangan yang awalnya bisa bolak-balik diubah menjadi jalan searah. Ditambahkan juga aksesoris-aksesoris, seperti lampu jalan, bernuansa zaman penjajahan yang menambah suasana retro di kawasan ini. Dalam beberapa tahun, kawasan jalan Kayutangan yang dulunya biasa-biasa saja itu telah disulap menjadi sebuah jantung baru bagi perekonomian kota Malang. (Kemudian, jalan searah juga bisa dibilang mampu mengurai kemacetan, jadi semacam 2 in 1 begitu mungkin ya)
Namun, keindahan tersebut tidak hanya berhenti di jalan-jalan besar itu saja. Cobalah berjalan-jalan di trotoar Kayutangan Heritage, terutama di sebelah kiri jalan. Dari situ, pengunjung akan melihat gang-gang kecil masuk ke kampung-kampung yang sebenarnya pemukiman warga, namun juga disulap dengan adanya tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi.
Untuk melanjutkan jalan kaki di kampung-kampung tersebut, setiap pengunjung wajib membayar Rp5.000,00 di loket-loket yang tersedia. Setelah membayar, para pengunjung akan mendapat sebuah tiket masuk dengan desain ala-ala retro dengan foto yang menunjukkan spot menarik yang bisa dikunjungi selama perjalanan kaki di kawasan ini.
Kalau yang namanya jalan-jalan di gang-gang kecil pemukiman warga, aku sih yakin banyak dari antara kita juga sudah familiar, namun ada detail-detail menarik yang membuat tempat ini menjadi hidup. Peninggalan bekas masa-masa yang sudah lampau, misalnya bangunan-bangunan Belanda dan juga barang-barang antik menjadi sebuah kapsul waktu bagi kita tentang zaman-zaman yang sebagian dari kita tidak pernah lalui. Semuanya digabungkan dengan unsur-unsur modern, misalnya spot foto dan juga mural yang tertera di bawah ini, menjadikan sebuah tempat wisata yang antik, bersih, dan juga menyenangkan untuk dikunjungi.
Dari segi budaya:
Di sinilah, buat aku, yang jadi salah satu daya tarik dari Kampoeng Kajoetangan ini. Dia menyuguhkan berbagai spot bersejarah yang, kalau menurut warga setempat yang sudah tinggal bertahun-tahun di situ, bakal terkesan biasa saja, namun kalau dicampur dengan kejelian dan kerja keras dari orang-orang yang tepat, orang-orang akhirnya bisa melihat bahwa kampung sederhana ini sebenarnya menyimpan sebuah harta karun istimewa yang mahal nilainya.
Sembari berjalan-jalan di kawasan Kampoeng Heritage Kajoetangan, ada berbagai macam kafe dan kedai yang dapat membantu memuaskan lapar dan dahaga, atau mungkin sekadar craving buat makan makanan ringan aja, kali ya. Tak lupa juga berkunjung di Es Talun, salah satu depot es campur legendaris yang telah menemani lidah warga Malang sejak tahun 1950, yang juga bisa diakses melalui Kampoeng Heritage ini.
Refleksi pribadi dari segi fotografi:
Buat saya pribadi, tentu saja tempat seperti ini merupakan salah satu objek yang menarik untuk fotografi.
Seperti halnya beberapa tempat wisata yang mulai menjamur kira-kira dekade terakhir ini, Kampoeng Heritage adalah tempat wisata yang mengandalkan kekuatan visual. Perpaduan antara vintage, modern, dan juga adanya elemen historis dalam Kajoetangan, sejatinya sudah dapat menjadi keunggulan visual dari tempat wisata ini dengan sendirinya. Bagaimanapun juga, Kampoeng Heritage dengan segala sejarah yang terkandung di dalamnya, semuanya berhasil dikelola menjadi objek wisata visual yang memanjakan mata.
Perkembangan lokasi-lokasi wisata berbasis visual, seperti yang satu ini, ini tentu saja juga ada kaitan erat dengan perkembangan sosial media. Dengan adanya ponsel pintar, semua orang dapat mengambil gambar hanya dengan sekali jepret pada tombol kamera saja. Dengan adanya sosial media, semua orang dapat mengunggah apa yang mereka miliki dan memperlihatkannya kepada semua orang. Namun, di sini kita baru membahas fotografi secara umum / populer.
Jadi kalau secara umum, sebagai spot foto yang baik dan juga inspirasi yang baik untuk menciptakan karya visual fotografi. Bisa dibikin kesan-kesan vintage begitu mungkin, tinggal siapkan properti dan teknik yang baik, kemudian karya fotografi yang indah bisa tercipta. Gabungan dari tata kampung dan juga ‘harta terpendam’ (bangunan-bangunan bersejarah serta gabungannya dengan unsur modern) bisa jadi materi yang enak untuk kerja fotografi dan videografi.
Tapi untuk saya, pembelajaran yang kita dapat hari ini tidak hanya itu.
Pada akhirnya, saya juga belajar banyak dari mereka yang bisa menata sebuah kampung biasa menjadi bagus. Maksud saya di sini, bukankah itu yang menjadi keunggulan fotografi? Mereka (para fotografer) memiliki mata yang tajam untuk mengubah sesuatu yang terlihat biasa saja menjadi sesuatu yang istimewa. Padahal modalnya juga nggak banyak, hanya dua mata dan dua kaki yang masih menapaki realita kehidupan. Manipulasi gambar pun juga dikit-dikit. Namun, dari penggambaran yang terkesan ‘apa adanya’ pun mereka dapat menemukan sebuah keindahan tersirat. Sebuah harta yang terlupakan. Seperti halnya ‘sejarah Malang yang terlupakan’ yang sudah saya singgung di judul artikel ini, mengubah hal-hal yang keliatan biasa dan sangat-sangat average menjadi sebuah hal yang menarik dan menginspirasi banyak orang.
Jadi, dari situlah saya menarik paralelnya dari kedua unsur ini. Karena itulah fotografi. Melihat lebih dari sesuatu yang nampak secara kasat mata. Mungkin kekaguman saya bukan dari sesuatu yang murni fotografi. Mungkin dari kehebatan seseorang yang pintar menata kota dan melihat sesuatu yang orang lain nggak bisa lihat. Atau mungkin ketularan dari bapak saya yang suka membahas isu-isu politik. Ya, atau mungkin penyebab-penyebab nggak jelas lainnya yang bisa jadi faktor pemicu.
Namun, pada akhirnya, saya ingin belajar memiliki mata seperti itu. Mata yang bisa melihat hal-hal biasa di masyarakat, namun seperti halnya mesin scanner X-ray, bisa melihat ke seluk beluk tulang yang paling dalam, dan di luar realita yang tersurat, mencari mimpi, makna, simbolisme, dan juga potensi-potensi tidak terduga lainnya, seperti halnya di kota Malang ini.
Referensi:
https://malangretro.com/2022/10/25/kilas-balik-sejarah-kampung-kayutangan/
Foto Kampung Heritage: https://travel.kompas.com/read/2022/05/08/150300327/12-spot-foto-retro-di-kampoeng-heritage-kajoetangan-malang