PARA NARSISUS BARU
Manusia dalam konsepsi klasik merupakan makhluk hidup ber-rasio yang mampu melihat ke ‘dalam’ diri dan ke ‘luar’ diri. Rasionalitas membawa kesadaran manusia bahwa terdapat setidaknya dua aspek mendasar dari dunianya, ialah dunia dalam atau dirinya sendiri serta dunia luar atau lingkungan sekitar, manusia lain, dan kekuatan-kekuatan yang mampu membentuk dunianya. Namun pada kasus tertentu, ketertarikan yang berlebihan dari manusia terhadap diri sendiri membuat sosok tersebut memiliki sudut pandang yang sempit, yang dalam istilah populer hari ini disebut sebagai egosentris. Kecenderungan manusia untuk terlalu menjunjung dirinya sebagai objek mampu mengalahkan rasio dan membawa esensi manusia, bukan sebagai manusia melainkan sebagai benda yang teramati. Posisi ini walah dapat dikategorikan sebagai keterbatasan dari kemampuan manusia namun memiliki implikasi yang kuat dalam membentuk peradaban dan mendasari nilai-nilai egosentrik manusia.
Ketika para Narsisus baru terlalu sering memandang pada dirinya sendiri, meninggikan namanya, atau mengagungkan hal-hal partikular yang tertempel pada dirinya. Maka rasionalitas manusia tertahan hanya pada cerminan-cerminan baru manusia yang semu. Tidak ada penalaran di dalam proses tersebut. Yang ada ialah kecenderungan untuk memuaskan diri sendiri alih-alih upaya untuk mengenal kedalaman diri. Hal ini selanjutnya dapat menimbulkan ketumpulan berpikir sehingga manusia kerap menekankan idealitas pada dirinya sendiri atau pada orang lain. Idealitas yang tercipta atas proses yang sempit ini selanjutnya menuntut keseragaman antara pemikirannya dengan kenyataan di luar, hingga mewujudkan sebuah penolakan atas berbagai kemungkinan lain di luar dirinya. Kondisi tersebut dalam konteks saat ini kerap disebut sebagai sikap intoleransi.
Umberto Eco, seorang filsuf dan ahli hermeneutika Italia telah menyumbangkan berbagai karya atas pandangan moral serta filsafat manusia. Salah satu buah pemikirannya mengenai moralitas dituangkan dalam sebuah konsep toleransi yang terangkum dalam buku bertajuk Lima Serpihan Moral. Toleransi dalam diskursus Eco tidak dapat terlepas dari antitesanya ialah intoleransi. Keduanya selalu berada dalam satu skema yang sama. Toleransi dan intoleransi hinggap dalam sifat dasar manusia, dan hanya dapat berubah melalui proses pembelajaran yang menyeluruh. Artinya hubungan antara dua penyikapan ini mampu dikelola apabila manusia berkenan untuk mempelajari dirinya serta berbagai keberadaan yang hadir di sekitarnya. Hal inilah yang bagi Eco dapat membedakan manusia dengan animalia lain.
Pada contohnya, manusia maupun serigala memiliki kemampuan untuk menerima kenyataan bahwa terdapat kehadiran kelompok atau komunitas lain. Namun penerimaan keduanya dibedakan oleh manifestasi pemahaman masing-masing. Terkadang Homo sapiens menyikapi penerimaan tersebut, karena pemahaman doktrinal atau berbagai alasan lain yang dibangun sebagai syarat kehidupan bersama. Sementara Canis lupus melakukan penerimaan karena resepsi reaksi naluriah misalnya hasrat dan adanya kemungkinan untuk bekerja sama. Bagi Eco, serigala memiliki kemampuan intoleransi purba yang nyata. Ia melakukan sesuatu, memutuskan pilihan, atau menentukan perhitungan secara jujur melalui instingnya. Sementara manusia, pun di tahap pertama (misalnya dalam kehidupan manusia purba) melakukan hal yang sama dengan kerumunan serigala, namun ia memerlukan bangunan pengetahuan untuk diteruskan pada keturunannya sebagai syarat untuk dapat hidup Bersama.
Serigala tidak membutuhkan hukum natural atau kesepakatan bersama untuk hidup dalam kelompok lain. Namun kebuasan manusia sebagaimana yang telah dibuktikan misalnya dalam kejahatan Perang Dunia II telah mendorong disepakatinya hukum kemanusiaan universal. Bisa asumsikan bahwa serigala tidak memiliki daya hidup sekuat manusia. Kemampuan bertahan hidup Homo sapiens akan menuntunnya untuk melakukan konformitas dan perdamaian. Di satu sisi, sifat ini menjadi keunggulan manusia dibandingkan serigala. Namun manusia selalu membutuhkan pengingat dalam melaksanakan toleransi, suatu hal yang tidak dibutuhkan oleh serigala di tengah kerumunan barunya.
Intoleransi hadir di hadapan subjek melalui hal yang tidak sama atau tidak dikenal. Ia nampak dalam kegagalan berpikir manusia. Bahwa ‘tidak sama’ atau ‘berbeda’ diartikan sebagai salah. Perbedaan yang dipandang oleh subjek memosisikan ‘liyan’ menjadi berjarak dan tidak berhubungan darinya. Ketidakmampuan manusia terhadap keadaan tidak tetap, menutup kemungkinan ‘benar’ di luar dirinya. Eco menggambarkannya seperti gambaran seorang anak kecil, sebagai perwujudan manusia yang naif, yang belum memiliki kekayaan pandangan, keterbukaan pikiran dan kesadaran akan batas dan kemungkinan. Serigala pada titik ini tidak selalu dapat hidup bersama dengan kawanan lainnya. Mereka hanya mengenal dirinya dan mengidentifikasi kawanan lain sebagai yang bukan dirinya. Namun serigala lebih jujur dalam penerimaan. Sesekali waktu saat mereka telah memutuskan untuk berkompromi dengan manusia, mereka akan mewariskan sifat tersebut dalam catatan genetiknya. Frase anjing adalah teman terbaik manusia menunjukkan bahwa kawanan serigala purba telah mencatat dalam dirinya kehendak untuk bersatu dengan yang lain. Sementara itu manusia, pun di suatu waktu telah berhasil menciptakan suatu kesatuan komunitas, namun tetap menghadapi permasalahan intoleransi di kemudian hari. Intoleran sama artinya dengan pemuasan kepurbaan. Keunggulan manusia dibandingkan dengan binatang lain, yang telah dituliskan dalam berbagai buku dan tradisi, akan menjadi sia-sia jika toleransi tidak dapat diturunkan dalam proses pewarisan pengetahuannya.
Karenanya untuk mewujudkan keberhasilan tersebut, manusia berkesadaran perlu meningkatkan kemampuannya untuk mengenal dunia. Dunia yang dimaksud ialah dunia kecil dalam dirinya dan dunia besar di sekitarnya. Dengan demikian, kecenderungan yang dilakukan secara terus-menerus ini dapat terwariskan dan pada saatnya, akan melahirkan kondisi dunia yang lebih baik dibandingkan saat ini.
Comments :