Kerap kali setiap memasuki bulan November selalu ‘dikultuskan’ sebagai bulan patriotik. Bahkan mengaitkan semangat 28 Oktober 1928 dengan semangat 10 November 1945 antara spirit kepemudaan dengan semangat patriotisme dalam revolusi Indonesia, tentu masanya jelas beda, meskipun nafasnya sama. Hanya saja meneladani tanpa melestarikan bagaikan mewarisi abunya, bukan apinya.

Sebagaimana dikatakan oleh Panglima Besar Revolusi, Soekarno ketika masa pengasingan (1934-1941) di Endeh, Flores, NTT, 18 Agustus 1936, “….Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat — zonder (tanpa.red) taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja — tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain ….”.

Pesan yang dimaksud Bung Karno adalah, “Warisilah Apinya, bukan Abunya.” Dapat ditafsirkan api merupakan amsal dari jiwa. Api yang berkobar adalah makna dari jiwa yang berkobar, menggebu-gebu, dan menyala-nyala. Sebagaimana bila dikaitkan dengan semangat hari Pahlawan sendiri, yang berkobar, menggebu, dan menyala adalah maknanya bukan prosesinya.

Semestinya yang menyala dalam kesadaran generasi penerus adalah karakter atau mental para pejuang. Mental utama para pahlawan adalah mental dan karakter ksatria, dalam konteks hari ini, berbeda dengan masa revolusi ketika patriotisme identik dengan angkat senjata, di masa sekarang, mewarisi api revolusi Indonesia, dimaknai lebih dinamis.

Memaknai spirit hari pahlawan dengan kesadaran untuk berpendidikan tinggi baik melalui pendidikan formal maupun informal merupakan bentuk perlawanan terhadap kebodohan, turun ke masyarakat membela kaum marhaen, dengan memberikan penyadaran pentingnya pendidikan alangkah lebih bermanfaat dibandingkan sebatas aksi turun kejalan menguliti kebijakan pemerintahan yang dianggap tidak ‘pro rakyat’. Memberikan advokasi terhadap buruh tani tertindas menjadi lebih bermakna dibanding hanya sebatas wacana melawan ‘pemerintahan korup’.

Terkadang angan-angan yang tinggi tidak diikuti logika yang masuk akal, hanya akan menjadi gagasan utopis yang kemungkinan akan terwujud kecil. Boleh-boleh saja punya gagasan utopis, karena sifat utopis bagian dari manusia itu sendiri, namun rasio dalam mewujudkannya harus disadari seberapa besar antara kemungkinan dan ketidakmungknan. Perpaduan sikap kritis dan rasionalitas akan membawa kepada sesuatu yang lebih riil atau nyata.

Tak bisa disalahkan sepenuhnya ketika generasi hari ini terjebak dalam euforia simbol yang ujungnya hanya kemunduran cara berfikir, karena melalui pendidikan kita hingga hari ini hal itu yang ditanamkan. Mengagungi hari pahlawan tanpa memaknai apa yang telah dilakukan para pendahulu bangsa, mengagumi toko-tokoh pendiri bangsa namun hanya terjebak dalam fanatisme dan simbolitasnya tanpa memahami pemikiran-pemikirannya, memberikan kritik tajam terhadap pemerintahan tanpa tahu hakekat berbangsa dan bernegara, hanya melambungkan wacana tanpa ada aksi nyata. Semuanya hanya akan membawa masuk dalam euforia tanpa makna.*