Generasi Z dan Hiperealitas
Perkembangan teknologi dewasa ini telah berhasil menciptakan aneka media komunikasi yang memudahkan subjek untuk merealisasikan diri. Segment masyarakat yang identik dengan kemajuan tersebut adalah Generasi Z. Secara sederhana generasi Z dipahami sebagai generasi yang telah menjadikan teknologi sebagai bagian dari hidupnya. Ia hidup dan bertumbuh bersama teknologi. Penguasaan teknologi bagi generasi Z adalah sebuah keharusan. Meski demikian salah satu hal yang telah lama dikaji dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi adalah munculnya dunia baru maya dan menawarkan alternatif serta peluang. Generasi Z yang menjadi aktor utama dari zaman itu menerima dinamika tersebut dengan antusias. Mereka bisa hidup dalam ‘dunia duplikat’ yang diciptakan oleh perangkat komputer. Melalui sistem komputerisasi rekayasa digital dapat dibuat. Baudrilard menyebut dunia/’realitas’ tersebut dengan Simulacra. Dalam simulcara, tak bisa dibedakan lagi antara dunia real dan dunia hasil rekayasa yang melampaui realitas. Seseorang bisa mengalami petualangan yang sungguh memacu adrenalinnya, misalnya mendaki puncak tertinggi dunia, hanya melalui layar tiga dimensi di sebuah bioskop tanpa harus terlibat secara langsung untuk melakukan pendakian. Dengan kata lain realitas yang tersimulasikan mudah mengecoh dan mengelabui manusia. Kondisi inilah yang membuat manusia terserap dalam dunia hiperealitas.
Dalam dunia hiperealitas subjek terserap ke dalam objek, bahkan mengalami kenikmatan melalui objek hasil simulasi, yang dalam bahasa Baudrillard disebut dengan ekstasi. Dunia hiperealitas berpengaruh terhadap gaya hidup manusia sebab manusia selalu digiring pada situasi yang membuat ia tidak pernah merasa terpuaskan karena di dalamnya dia selalu menemukan sensasi-sensasi baru. Dalam dunia hiperealitas batasannya dengan kehidupan nyata/keseharian menjadi lenyap. Dunia hipereaalitas sungguh menyerap hasrat manusia untuk selalu mengkonsumsi. Selanjutnya pada titik tertentu manusia tidak lagi menyandarkan pola konsumsinya pada urgensi kebutuhan melainkan pada gaya hidup karena telah termakan oleh pengaruh bujuk-rayu dunia hiperealitas.
Dunia hiperealitas adalah ruang semu namun mampu mempengaruhi subjek secara kuat. Dua hiperealitas memproduksi nilai-nilai tertentu yang menyerap perhatian subjek. Berhadapan dengan aneka tawarannya subjek seakan diam dan menerima apa saja yang merupakan produksi dunia hiperealitas. Pengaruh dunia hiperelitas sungguh nyata bagi kehidupan harian manusia yakni bahwa manusia tidak terlalu memperkarakan atau mempersoalkan pesan atau makna yang terkandung di dalamnya, yang diagungkan adalah makna simbolis serta tanda yang digunakan dalam dunia hiperealitas. Selain itu subjek terasing dengan kehidupan konkret yang ia jalani sehari-hari. Kondisi inilah yang membuat subjek tercabut dari kedalaman hidupnya di dunia nyata sebab ia tidak mampu memilah, memilih dan membedakan setiap pengaruh yang mengepung dirinya. Yang ada hanyalah upaya mempertahankan gaya hidup dengan melakukan konsumsi terhadap aneka objek.
Generasi Z tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka ini adalah subjek kontemporer Subjek kontemporer atau manusia posmodernitas yang digagas oleh Baudrillard memberikan gambaran yang jelas mengenai letak perbedaannya dengan manusia modern. Subjek kontemporer adalah subjek yang tidak terikat pada otoritas tertentu. Dengan kata lain subjek kontemporer adalah mendefinisikan diri melalui gaya hidup yang bersifat terfragmentasi. Bagi mereka model-model tertentu merupakan penentu realitas. Dapat dikatakan bahwa subjek kontemporer menemukan otonomitas melalui diferensi kebutuhan dan hasrat mereka. Bambang Sugiharto melalui pembacaannya terhadap Baudrillard mengatakan bahwa, era posmodernisme adalah era bagi subjek melakukan dediferensiasi. Ini berarti dalam seluruh otonomitas sungguh menjadi milik subjek. Dalam melakukan konsumsi terhadap tanda maupun konsumsi dalam artia yang sebenarnya, subjek mempunyai otoritas yang mutlak. Pun dalam hal gaya hidup. Meskipun subjek dalam hal ini dipengaruhi oleh dunia hiperealitas namun otonomi subjek untuk mengarahkan hasratnya pada aneka tawaran dunia hiperealitas sungguh diberi tempat.
Proses simulasi yang semakin lancar menciptakan kondisi hiperealitas. Di dalamnya, meski subjek terserap namun subjek masih mempunyai otoritas untuk menentukan gaya hidupnya sesuai dengan hasrat yang ia miliki. Jadi dapat dikatakan bahwa subjek kontemporer atau subjek postmodernitas adalah subjek yang menceburkan diri dalam realitas yang diwarnai silang sengkarut simulasi. Perkembangan masyarakat konsumer dapat dikaitkan dengan proses simulasi, disini dapat dilihat bahwa dalam masyarakat konsumer makna-makna tidak dihasilkan melalui proses produksi tetapi masyarakat konsumer memproduksi diferensi melalui produksi. Diferensi ini tidak dihasilkan melalui mimesis tetapi melalui penyangkalan dunia nyata dengan cara mengubah fantasi, ilusi, fiksi atau nostalgia menjadi tampak nyata melalui produksi dan reproduksi simulasi.
Sebagai relevansi, peta pemikiran Baudrillard tentang subjektifitas generasi Z secara khusus menyinggung identitas ke-Indonesiaan mereka. Persoalan gaya hidup sebagai efek lanjut dari pola hidup masyarakat konsumer merupakan poin penting yang menjadi kendala bagi terciptanya identitas ke-Indonesiaan kita. Meski dunia kita semakin maju, jangan sampai nilai-nilai luhur Pancasila tergerus oleh karena kemajuan teknologi yang menciptakan dunia hiperealitas. Ciri khas manusia Indonesia yang ramah, penuh kekeluargaan, pekerja keras bisa tercerabut oleh pengaruh zaman yang memproduksi otonomitas. Melestarikan nilai-nilai tersebut di tengah arus diferensi dan otonomitas subjek kiranya terasa urgen dan mendesak.
Comments :