Pancasila Mutiara Bangsa: Kaitan Makna Antar Sila [Bagian 2-habis]
Lantas apa artinya Pancasila adalah mutiara bangsa? Merevitalisasi Pancasila sebagai pandangan dasar hidup bangsa Indonesia berarti mengambil jalan menguatkan kembali makna-makna kelima nilai Pancasila. Kenyataan yang lazim di negeri ini, jangankan hapal dengan kelima sila dengan urutan yang benar, memahami artinya saja, tidak banyak warga bangsa ini punya pengertian yang memadai. Padahal pandangan hidup dasar bangsa Indonesia terbentang di dalam saripati kelima nilai Pancasila. Maka, penguatan Pancasila tidak akan banyak berarti tanpa menggali dan menghadirkan kekayaan makna Pancasila itu sendiri. Terdengar membosankan, tetapi inilah cara mendasar untuk sekurang-kurangnya “mengenali” mutiara Pancasila, dan tulisan ini mengangkat refleksi penulis terhadap makna-makna kelima sila.
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung arti dua hal: (1) bangsa Indonesia menerima dan mengakui dimensi transendental (kemahakuasaan Tuhan). Tuhan adalah satu-satunya pihak yang memiliki daya kuasa mutlak jauh melebihi di atas ciptaanNya. Kuasa Ilahi diterima bangsa Indonesia dalam seluruh sendi kehidupannya; sebuah sikap yang telah terbentuk sejak zaman kerajaan dahulu. (2) Di dalam kondisi yang diwarnai dengan unsur religiusitas ini, setiap warga bangsa Indonesia memiliki kebebasan beriman, memeluk ajaran dan menjalankan praktik keagamaan yang dianutnya. Tidak saja negara memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama warganya, tetapi sesama warga bangsa wajib memegang prinsip hormat terhadap kemerdekaan beragama setiap rekan-rekan sesama warga negara.
Yang mendasar bahwa perwujudan ketaatan kepada Yang Ilahi sejatinya terletak pada dimensi sosial: relasi dengan sesama. Mengimani Tuhan justru menggerakkan orang untuk memeluk nilai-nilai kemanusiaan. Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan warga bangsa dalam hidup sosialnya untuk konsisten memiliki sikap hormat terhadap sesama; menghormati harkat dan martabat manusia, yaitu secara konkret: menghormati dan menjamin terselenggaranya pemenuhan hak-hak asasi manusia, dan sikap demikian mencerminkan sifat warga bangsa yang beradab.
Bagi saya, semangat kemanusiaan yang menanungi jiwa seseorang akan membentuk mata batin yang memandang orang lain apapun latar belakang pada dirinya sebagai saudara. Semangat persaudaraan adalah sumber energi mutlak untuk keutuhan eksistensi kehidupan bersama. Dalam arti itu, sila ketiga: Persatuan Indonesia, mengingatkan warga negeri ini bahwa Indonesia yang secara faktual given terbentuk dari keanekaragaman budaya dan identitas primordial tidak akan tercerai-berai hanya jika setiap warganya secara sadar dan suka rela setia mengikatkan diri kepada satu tubuh himpunan bangsa Indonesia semata-mata karena semangat persaudaraan yang melandasi ruang batinnya. Spirit persaudaraan adalah sikap mendasar yang diminta ibu pertiwi dari anak-anak bangsanya. Dan itu terwujud di dalam sikap gotong-royong yang boleh kita banggakan sebagai kekayaan budaya negeri ini yang sejatinya memancarkan nilai persaudaraan. Persaudaraan yang kuat dan tulus sungguh adalah roh persatuan yang darinya keutuhan Indonesia memiliki jaminannya.
Hanya saja, persatuan bukanlah suatu kondisi statis. Ia ditentukan dari sikap orang-orang di dalamnya untuk mau setia bersatu. Maka, persatuan niscaya adalah suatu proses aktif dan dinamis. Proses terus menerus tanpa akhir yang daya tahannya hanya ditentukan dari kehendak untuk bersatu warganya sendiri. Dalam konteks itu, beragam kepentingan warga yang mendiami rumah persatuan memerlukan manajemen pengelolaan yang memadai agar tenun persatuan bangsa tidak terkoyak. Para pendiri bangsa kita dalam sila ke empat mengajukan mekanisme bermusyawarah bermufakat. Bermusyawarah atau berembuk memang gaya hidup khas (budaya) orang-orang di dalam keutamaan kelompok (komunitarian) seperti bangsa Indonesia. Yang seringkali luput dari perhatian kita bahwa proses bermusyawarah mesti dipimpin oleh sikap bijaksana. Putusan yang bijaksana tercermin dari diutamakannya kepentingan/kebaikan bersama (bonum commune), bukan golongan tertentu.
Itu artinya, memenangkan kebaikan bersama hanya mungkin tercapai jika diterangi oleh sikap adil. Kehidupan bersama di tanah Indonesia yang dihuni oleh keberagaman identitas dan aspirasi kebutuhan, persatuan bangsa ditentukan—salah satunya—dari kebijakan-kebijakan negara yang adil, yang membuat setiap warganya merasa “betah” karena diurus dengan layak oleh negara. Saya tidak masuk ke dalam perdebatan mengenai hakikat yang adil, melainkan saya hendak mengajukan sebuah indikasi bagi terwujudnya sila ke lima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu kesempatan dan kemampuan materiil (ekonomi) maupun immateriil (politik, hukum, pendidikan, kesehatan dan agama) yang terdistribusikan secara proporsional kepada setiap warga negara Indonesia, terutama kepada mereka yang lemah dan marjinal. Di situ ada penekanan kepada kaum lemah, karena bagaimanapun, sila keadilan mengamanatkan sikap solidaritas dan keberpihakan negara untuk mengangkat harkat dan martabat rakyatnya terutama yang tidak berdaya.
Pada akhirnya, kelima sila itu secara hakiki memuat faktor vertikal dan horisontal. Makna-makna yang terkandung dalam kelima sila sebagaimana sudah diuraikan di atas menyediakan orientasi (arah) bagi manusia Indonesia untuk berwatak religius dan humanis baik di dalam hidup pribadi maupun bersama di negeri ini secara konsisten. Pancasila dengan muatan makna-makna berharga di dalamnya—bagaikan mutiara—adalah pandangan mendasar (gagasan filosofis) bangsa Indonesia yang ditangkap dan diolah oleh founding fathers kita. Dan apakah mutiara itu masih tetap memancarkan kemilaunya? Sungguh bergantung kepada kita anak-anak bangsa untuk merawatnya. [***]
Comments :