Bangsa Indonesia memiliki berbagai perbedaan baik dari segi suku, agama, ras, budaya, maupun etnis yang berbeda-beda. Keberagaman tersebut turut menghasilkan berbagai perbedaan, termasuk dalam keberagaman bahasa daerah yang dituturkan oleh setiap masyarakat dari berbagai daerah. Dari berbagai keberagaman produk kekayaan budaya yang dimiliki, bangsa Indonesia telah sepakat mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu nasional.  

Penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang simbol kenegaraan, yang berbunyi ‘’bangsa secara utuh dan sepakat mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pergaulan nasional bangsa Indonesia’’. Fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan nasional adalah sebagai kekayaan bangsa, sarana integrasi nasional, alat kontrol sosial terhadap kelompok atau individu, dan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. 

Dari berbagai keberagaman budaya dan bahasa yang dimiliki Indonesia, terdapat salah satu bahasa daerah asli Indonesia yang memiliki jumlah penutur terbanyak, serta memiliki persebaran merata di wilayah Indonesia. Bahasa tersebut adalah bahasa Jawa yang sebagian besar dituturkan di pulau Jawa. Penggunaan bahasa Jawa di luar pulau Jawa digunakan oleh kelompok pendatang, maupun buruh yang telah menetap dan membentuk kelompok berdasarkan kesamaan suku maupun golongan di luar pulau Jawa. Bahasa Jawa tersebar hampir di seluruh penjuru Indonesia maupun mancanegara, hal ini disebabkan adanya masyarakat dari pulau Jawa yang disebar oleh Belanda untuk mengikuti kerja paksa di penjuru Hindia Belanda (sekarang Indonesia), maupun adanya program transmigrasi untuk pemerataan penduduk. Jumlah penutur bahasa Jawa berdasarkan hasil sensus 2010 tercatat sebesar 68 juta penutur yang tersebar di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan wilayah lain di Indonesia, atau 31,79% dari total seluruh penduduk Indonesia (Naim dan Syahputra, 2012:47).    

Malang yang dikenal sebagai kota pendidikan memiliki beragam lembaga pendidikan baik formal, maupun nonfromal. Kondisi tersebut menjadikan Malang sebagai tujuan pelajar pendatang dari berbagai suku, budaya, maupun bahasa yang berbeda. Kondisi tersebut melatarbelakangi adanya pemertahanan identitas asal pendatang di Malang yang memiliki perbedaan dengan identitas asal yang dibawa pendatang. Salah satu identitas asal pendatang yang dipertahankan di Malang adalah bahasa asal. Salah satunya adalah para penutur bahasa Jawa dialek mataraman. Mereka menggunakan bahasa asal sebagai sarana interaksi dengan sesama anggota penutur Bahasa yang sama, namun apabila berkomunikasi dengan penutur bahasa lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi. 

Sebagai pendatang tidak mudah bagi penutur dialek mataraman beradaptasi di Malang yang mayoritas merupakan masyarakat penutur bahasa Jawa dialek arek. Upaya pemertahanan bahasa yang dilakukan Mahasiswa penutur dialek mataraman di Malang adalah tetap menggunakan bahasa Jawa dialek mataraman ditengah lingkungan penutur dialek arek. Hal ini disebabkan karena kedua dialek tersebut terdapat perbedaan. Perbedaan kedua dialek tersebut terletak pada kosakata tertentu.   

Sutarto (dalam Pratama, 2014:2) membagi wilayah kebudayaan Jawa Timur menjadi 10 wilayah kebudayaan. Sepuluh wilayah kebudayaan tersebut antara lain Jawa mataraman yang meliputi wilayah Blitar, Kediri, Tulungangung, Trenggalek, Madiun, hingga Magetan, dan wilayah kebudayaan arek yang meliputi wilayah Malang, Sidoarjo, hingga Surabaya. Nilai kesantunan tuturan bahasa wilayah Jawa mataraman dipandang lebih santun daripada tuturan bahasa wilayah arek    

Bahasa Jawa dialek mataraman mendapat pengaruh dari bahasa Jawa bagian tengah yakni wilayah Semarang, Solo, Jogja dan sekitarnya, sedangkan Blitar, Ponorogo dan sekitarnya bukan penutur asli dialek mataraman, namun wilayah tersebut mendapat pengaruh dari penutur asli mataraman dikarenakan posisi geografis yang berdekatan. Bahasa Jawa dialek arek memiliki ciri khas yang lantang, tegas, dan terdengar kasar. Alasan dialek arek terkesan kasar karena masyarakat wilayah tersebut tidak suka bertele-tele, dan posisi geografis masyarakat Jawa arek lebih jauh dari wilayah kerajaan Mataram. 

Bentuk pemertahanan bahasa Jawa dialek Mataraman nampak pada adanya penggunaan dialek mataraman di tengah penutur bahasa Jawa arek. Dialek mataraman yang dituturkan oleh Mahasiswa di Malang lebih banyak digunakan pada situasi informal. Faktor yang melatarbelakangi Mahasiswa penutur dialek mataraman di tengah lingkungan penutur dialek arek adalah adanya sikap setia dengan bahasa daerah, dialek mataraman dapat diterima di lingkungan penutur dialek arek, keakraban intens antara Mahasiswa penutur dialek mataraman dan arek, penutur dialek arek mampu memahami dialek mataraman. Dengan demikian dapat disimpulkan Mahasiswa penutur dialek mataraman mampu melakukan upaya pemertahanan bahasa di tengah lingkungan penutur dialek arek dengan baik.    

 

DAFTAR PUSTAKA 

Naim, A., & Syaputra, H. (2010, March). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/publication/2012/05/23/55eca38b7fe0830834605b35/kewarganegaraan-suku-bangsaagama-dan-bahasa-sehari-hari-penduduk-indonesia.html) 

Pratama, Pandu Median. 2014. Analisis Kesantunan Tuturan Pembuka dan Penutup Pengamen di Wilayah Arek dan Pengamen di Wilayah Jawa Mataraman. Tugas akhir tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.  

Undang-undang RI No. 5 Tahun 2017  tentang Pemajuan Kebudayaan. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Republik Indonesia, (Online), (http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1690.pdf), diakses 4 Maret 2020.