“Belakangan ini, guyonan lawas tentang seorang kaya yang mengatakan kepada asistennya ‘Usir pengemis itu. Aku seorang perasa dan tidak tahan melihat orang menderita!’ telah menjadi semakin relevan ketimbang yang sudah-sudah.” – Slavoj Zizek

Paradoks sebagai salah satu kunci dari keberhasilan sebuah meme, atau ucapan dari para stand up comedian. Ia merupakan kondisi di mana suatu hal dapat di waktu yang sama bertentangan dengan hal lain yang hadir bersamaan dengannya. Namun paradoks yang dikisahkan oleh Slavoj Zizek di atas adalah kondisi yang bagi filsuf Slovakia ini, dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ketika di suatu waktu paradoks ini disampaikan dalam kehidupan para komedian, akan membawa kita pada momen yang menyenangkan. Namun hal tersebut tidak terjadi, apabila kita membuka mata dan mengetahui bahwa hal tersebut benar adanya, terjadi dalam kehidupan nyata. Paradoks hilang dari candaan filsuf tersebut, dan karenanya perlu dipahami sebagai suatu kenyataan kontekstual yang mengganggu.
Dalam humor klasik di atas terdapat dua kritik yang berusaha disampaikan Zizek. Yang pertama adalah perlawanan makna dan kedua adalah kenyataan bahwa manusia bermutasi menuju kemiskinan moral. Bagi Zizek, poin pertama ialah yang konseptual dan poin kedua ialah yang kontekstual. Kita dapat menemukannya di manapun dan kapan pun di saat kita berhadapan dengan masyarakat modern hari ini.

Sebuah kalimat memiliki induk dan anak frasa yang dapat menguatkan atau melemahkan garis pengertian di dalamnya. Kewajaran paradoks mengandung perlawanan makna dua atau lebih hal. Dalam humor di atas misalnya, seorang kaya yang mengaku tidak tahan akan kemiskinan dan penderitaan justru mengusir pengemis. Si Kaya ‘menderita’ dan mengusahakan kebahagiaan bagi dirinya dengan membangun jarak dengan ketakutannya, ialah presentasi kemiskinan. Penikmat humor akan terpuaskan dengan ketragisan paradoks dari ungkapan Si Kaya.

Moralitas umum (terlepas dari kesepakatan kolektif mengenai apa yang harus dilakukan) akan menyarankan kepada Si Kaya untuk membantu pengemis agar dapat melepaskan diri dari keterikatan atas penderitaan. Namun bagi Zizek, paradoks ini menjadi nyata dengan kebanalan yang menjamur dalam masyarakat. Humor ini, menyatakan bahwa kebodohan telah merajalela. Manusia modern tanpa disadari dapat melakukan hal yang sama dengan humor klasik tersebut. Kita dapat dengan mudah meluangkan tangan pada pihak yang membutuhkan (sedikit berbeda dengan si Kaya dalam humor di atas), namun di saat yang sama menunjukkan bahwa kita jauh lebih beruntung dibandingkan sosok di hadapan kita. Kesombongan, membawa manusia untuk melahirkan paradoks di dalam dirinya. Ketidakpekaan atas kemungkinan-kemungkinan, menyebabkan manusia terjatuh dalam lubang yang sama dengan di Kaya. Kenyataan telah bergema melalui paradoks yang menyedihkan, yang menunjukkan ketidakselarasan. Kiranya dalam satu atau dua dekade lagi, humor tidak akan menunjukkan paradoks melainkan kewajaran. Ketidakpekaan yang sama di suatu waktu dapat kita ucapkan sendiri, apabila kita tidak mulai menyadari pemaknaan dari kejadian yang kita hadapi. Jika manusia selalu mengabaikan kemampuannya untuk mendalami kondisi di luar dirinya, maka waktu akan membawa kita ke dalam dua posisi. Yang pertama, manusia akan semakin mewujudnyatakan paradoks dalam dirinya, dan selanjutnya paradoks tersebut akan terlembaga dalam ketumpulan moral masyarakat. Seseorang mungkin akan tertawa dan tetap berkubang dalam ketidakmampuan.