Nalar merupakan salah satu perangkat manusia yang digunakan dalam pencarian kebenaran. Ia dapat difungsikan sama seperti indra ialah untuk mengenali objek dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan resepsi. Karenanya, hasil penalaran dapat berbeda antara seorang subjek dengan subjek yang lain. Bukan karena objeknya yang berbeda namun karena kemampuan dan proses subjektif memiliki ciri dan keunikan masing-masing. Perbedaan hasil pemikiran manusia bernalar-lah yang lalu mewarnai alam pemikiran filsafat hingga hari ini. Rene Descartes, seorang filsuf yang juga merupakan seorang matematikawan tidak membatasi diri hanya untuk menyelami ilmu alam. Ia juga merumuskan penalaran manusia demi kelancaran penelitian eksperimental yang ia lakukan selama sembilan tahun. Melalui karya reflektifnya, Descartes menemukan salah satu rumusan rasional yang dikenal sebagai cogito ergo sum atau ‘saya berpikir maka saya ada’. Hal ini menegaskan bahwa keberadaan manusia berawal dari kesadaran dasar, ialah berpikir (yang dalam pembahasan lebih lanjut dipahami sebagai bertanya) atas suatu hal.

Kesadaran yang berjalan sesuai alur sistematis dapat disebut juga sebagai proses bernalar. Manusia, sebagai makhluk rasional memiliki karunia berupa kemampuan untuk memproses suatu informasi. Perbedaan kemampuan ini menimbulkan berbagai kerangka psikologis dan intelegensi. Seseorang dapat memahami informasi grafis lebih cepat dibandingnya kawan-kawannya, atau seseorang dapat memahami interrelasi antar informasi lebih lugas dibandingkan masyarakat di sekitarnya. Perbedaan kemampuan peprosesan informasi menyajikan kekayaan kapasitas intelektual manusia. Namun kemampuan ini saja tidaklah cukup untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Bagi Descartes, cara manusia menggunakan nalar dengan maksimal lebih penting dibanding dengan kepemilikan nalar itu sendiri. Nalar dapat diandaikan sebagai pisau, yang dapat berguna untuk mengupas dan memotong buah, namun di saat yang sama ia juga dapat digunakan sebagai alat untuk melukai tangan manusia sendiri. Nalar manusia sebagai pisau analisis dan perangkat kesadaran memiliki potensi konstruktif juga destruktif. Dengan demikian, kemampuan manusia unggul (human virtue) adalah ketika ia memiliki kemampuan dan dapat memfungsikan nalar dengan baik.

Sebagai ilmuwan Perancis di abad ke-17, Descartes hidup dalam konteks awal masa kebebasan berpikir. Sebagai saintis, ia lebih mendahulukan proses rasional dibandingkan kebenaran empiris. Karena itu, rasionalisme lebih melekat pada tulisan-tulisannya dibanding nuansa empirisme positivis. Salah satu karya berpengaruhnya terhadap dunia filsafat adalah Discours de la méthode, yang menjadi dasar penalaran para filsuf rasionalis.