MENEGAKKAN ‘SUMPAH PEMUDA’ DI LAPANGAN HIJAU
Sepakan penalti striker tim nasioal (timnas) Indonesia, Ilham Udin Armayn disertai peluit panjang wasit asal negeri gajah putih Thailand, Sivakorn Pu-Udom mengakhiri pertandingan sengit partai final Piala AFF U-19 tahun 2013 antara timnas Indonesia melawan Vietnam di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (22/9/2013) membuat pemain, ofisial, dan seluruh komponen tim berlarian berpelukan. Tetesan keringat campur aduk dengan tangis air mata kebahagiaaan memancar di stadion yang dipadati tidak kurang 30 ribu penonton ini.
Pun demikian dengan luapan kegembiraan di tribun stadion, sempat dibuat senam jantung sepanjang 120 menit pertandingan normal plus babak perpanjangan waktu dan babak penalti membuat ketegangan tersebut berakhir manis. Berjingkrak, berteriak, bernyanyi mengelu-elukan punggawa garuda muda yang behasil menyudahi ‘kutukan final’ timnas senior di ajang internasional. Bahkan tribun VIP yang terkenal ‘adem ayem’ larut dalam suasana euforia tersebut.
Mampu menyudahi perlawanan Vietnam dengan skor akhir 7-6 setelah pemain Vietnam, Phạm Đức Huy gagal mengeksekusi dengan baik tendangan 12 pasnya, diakhiri dengan sepakan ke sembilan Indonesia melalui sentuhan manis Ilham Udin Armayn membuat Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai ‘raja Asia Tenggara’ ketika itu. Penampilan heroik anak-anak asuhan Indra Syafri ini mampu memukau pecinta bola tanah air. Meski sebatas di tim junior, prestasi Evan Dimas dkk mampu mengobati dahaga pecinta bola tanah air yang kering prestasi sejak terakhir kali memenangi medali emas Sea Games 1991.
Anak-anak ini telah membuat ratusan juta pasang mata baik yang hadir di stadion maupun di layar kaca terpana, seolah semua bangga ‘menjadi Indonesia’, kegirangan bak lupa ada banyak masalah besok seusai pertandingan berakhir. Kesenangan semalam itu bagaikan menutup semua problematika. Headline surat kabar keesokan hari bahkan berminggu-minggu setelahya mengulas kegagahan sang garuda muda ‘menjinakkan’ Asia Tenggara, seolah lupa ada besar bangsa, seperti korupsi, kegaduhan di parlemen,ribut-ribut para elit juga persoalan-persoalan mendasar masyarakat seperti kemiskinan, kelaparan, juga pengangguran yang tak kunjung ada ujungnya.
Heroik, kata yang mampu menggambarkan perjuangan mereka. Ditengah krisis kebanggan atas negara yang telah berdiri sejak 1945 ini, ada sekelompok anak muda yang berasal dari berbagai belahan Indonesia mampu memenuhi dahaga akan prestasi dan kebanggaan. Di era yang serba dijital dan serba instan ini justru tak banyak yang peduli akan makna sebuah kebanggan. Sebagaimana kebanggan terhadap bangsa dan negaranya. Dalam pertandingan sepakbola, semua yang sempat merenggang akibat berbagai persoalan dapat tiba-tiba mencair dan seolah tak ada masalah apapun.
Sebagaimana cap yang disematkan masyarakat terhadap dunia sepakbola teramat negatif. Selain prestasinya yang jalan di tempat, tingkah laku para penontonnya acap kali membuat geram banyak pihak. Sudah menjadi rahasia umum apabila suporter sepakbola Indonesia tersekat dalam aliansi kelompok-kelompok yang terkadang sering terjadi gesekan, bahkan berujung maut. Namun semua berubah 180 derajat ketika tim nasional berlaga, sekat kelompok dan atribut seolah tak ada, semua melebur menjadi satu kesatuan. Yel-yel umpatan dan ejekan yang kerap kali terdengar, berganti menjadi nada dukungan.
Terbaru, masih terkenang dalam ingatan, pertandingan pertama timnas Indonesia pasca pencabutkan sanksi FIFA, Mei 2016 lalu setelah kemelut panjang antara elit Federasi (PSSI) dengan Pemerintah (Kemenpora). Timnas senior mampu melumat tim negeri jiran, Malaysia tiga gol tanpa balas, Selasa (6/9/2016) malam di Stadion Manahan, Solo, aksi koreo dan yel-yel dukungan pendukung tim merah putih mampu memukau banyak pihak. Tak ada nada-nada umpatan, hanya ada nada satu dukungan. Demikian pula di pertandingan berikut ketika timnas ditahan imbang Vietnam 2-2 di Stadion Maguwoharjo, Sleman Yogyakarta (9/10/2016). Banyak pihak berharap model-model persatuan sedemikian rupa dapat kembali terus mengakar.
Mereka telah menemukan persatuannya, generasi muda yang dalam proses pencarian jati dirinya menemukan jati diri Indonesia-nya di dunia sepakbola. Hal itu lebih baik, daripada mereka tak menemukan sama sekali, karena terus terang saja faktanya sisi kedaerahan yang dibentuk melalui dunia sepakbola lokal sangat mengakar pembentukan identitas kedaerahan. Sehingga perlu kiranya negara turut memfasilitasi pembentukan identitas Indonesia melalui sepakbola, daripada saling ribut antar elit satu sama lain.
Pertandingan-pertandingan tim nasional harus dimaksimalkan, terlebih yang masuk kalender FIFA, selain mengejar poin untuk perbaikan peringkat dunia juga untuk mencairkan kerenggangan dan ketegangan selama kompetisi lokal berlangsung, sudah jadi rahasia umum kalau kompetisi domestik kerap jadi biang gesekan antar kelompok suporter lokal. Dengan pertandingan timnas secara teratur paling tidak potensi-potensi gesekan tersebut dapat diminimalisir. Yang tak kalah penting, pertandingan timnas jangan lagi sentralistik, dimana pertandingan hanya dipusatkan di kota-kota di Pulau Jawa, terlebih hanya Jakarta. Masih banyak daerah-daerah lain yang harus ‘disambangi’ timnas di luar Jawa.
Untuk membumikan nasionalisme dan patriotisme, terutama di kalangan pemuda memang tak mudah, namun tetap ada cara yang bisa dilakukan, salah satunya dengan sepakbola. Sehingga apabila nasionalisme sebagai proyek bersama, sebagaimana diungkapkan Benedict Anderson (dalam Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan), ia masih melihat banyak sekali warga Indonesia masih cenderung berpikir Indonesia sebagai sebuah “warisan“ semata, bukan sebagai sebuah tantangan atau sebuah proyek bersama.
Sebagaimana bila menjadikan Indonesia sebagai proyek bersama yang bukan sekedar warisan, kesadaran berbangsa dan bernegara dapat dibentuk melalui hal sederhana dalam dunia sepakbola, dimana negara benar-benar hadir, kolaborasi antar stakeholder sepakbola dapat berjalan saling melengkapi. Federasi fokus mengurus kompetisi dan tim nasional termasuk pembinaan usia mudanya, pemerintah menyediakan fasilitas pendukungnya, suporter kembali diatas tribun dengan proses pendewasaan diantara satu sama lain, dan tim nasional yang menyatukannya dalam satu proyek spirit Indonesia, bukan lagi spirit daerah.
Sehingga tak ada lagi ceritanya klub enggan mengirim pemain ke tim nasional, elit pemerintah dan elit federasi saling ribut satu sama lain, hak pemain dan ofisial terbengkalai, dan antar suporter saling tikam satu sama lain. Cita-cita menegakkan ‘sumpah pemuda’ dengan spirit sumpah pemuda 28 Oktober 1928, dengan bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa yang satu dalam satu kesatuan Indonesia bukan lagi sekedar permainan kata. Bravo Sepakbola Indonesia.
Comments :