Kehadiran sekolah dengan sarana prasarana memadai, menjadi kebutuhan masyarakat di tengah beragamnya tantangan yang harus dihadapi oleh generasi saat ini. Membekali anak dengan pendidikan yang berkualitas, dipandang sebagai usaha terbaik yang dapat dilakukan orang tua untuk masa depan anak mereka. Kegagalan dalam memilih sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak, bagi orang tua siswa seolah-olah membuat proses pendidikan yang dilaksanakan selama bertahun-tahun menjadi sia-sia. 

Di Indonesia, buku tak lagi menjadi teman setia pelajar masa kini. Budaya membaca, menulis, dan berdiskusi tak lagi menjadi ciri khas pelajar yang digadang-gadang menjadi calon pemimpin penerus bangsa ini. Para pelajar tersebut lebih senang menghabiskan waktu didepan televisi atau bergawai ria. 

Kebiasaan literasi para pelajar dipandang masih rendah dan menjadi tantangan yang belum selesai hingga hari ini. Akibatnya posisi Indonesia seringkali berada di bawah dalam berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional. Berdasarkan data dari Programme for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat ke 72 dalam hal kompetensi membaca dari 77 negara yang diteliti. Sedangkan data Perpustakaan Nasional tahun 2020 menyebutkan bahwa frekuensi membaca orang Indonesia masih tiga sampai empat kali per minggu.  

Rendahnya kualitas membaca di tanah air tersebut salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan sekolah dalam menciptakan iklim literasi di lingkungannya. Perpustakaan yang seyogyanya berperan sebagai jantungnya sekolah, cenderung tidak dikelola dengan baik. Kondisi ruangan yang tidak nyaman, koleksi bacaan yang tidak variatif, bahkan ada pula perpustakaan yang tidak memiliki fasilitas kamus yang membuat siswa enggan untuk datang. Terlebih lagi pada masa pandemi saat ini yang masih belum memperbolehkan siswa memasuki area sekolah, termasuk perpustakaan sekolah. 

Untuk menciptakan iklim literasi di lingkungan sekolah, diperlukan sebuah upaya yang dilakukan secara sistematis, masif, serta berkelanjutan. Namun demikian, kesuksesan program tersebut sangat bergantung pada sejauh mana keseriusan sekolah dalam menyediakan sarana pendukung serta komitmen mereka untuk senantiasa melestarikan budaya membaca dan menulis di kalangan siswanya. Menghidupkan perpustakaan berbasis kelas merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh sekolah untuk memupuk kecintaan anak terhadap buku di saat perpustakaan sekolah belum mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pengelola sekolah dapat membuat perpustakaan mini di setiap kelas dan mengajak siswanya untuk membiasakan aktivitas membaca sebelum memulai pelajaran. Jika diperlukan, guru dapat menugaskan siswanya untuk membuat resume untuk setiap buku yang telah dibaca.  

Cara lain yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang biasa diberikan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar mereka. Selain itu siswa pun dapat berpartisipasi aktif melalui program Satu Siswa Satu Buku. Pada sebagian kecil sekolah, program ini sudah berjalan dengan baik. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara daring juga harus dijadikan sebagai momentum peningkatan kualitas literasi di sekolah secara digital. Hal ini bisa dilakukan jika semua guru pada semua mata pelajaran memberikan ruang-ruang gerak untuk membaca pada setiap materi dan memperkaya bahan bacaan yang tidak hanya bersumber dari buku teks saja serta pembelajaran yang tidak berorientasi pada penugasan semata.  

Berdasarkan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa sekolah unggul bukanlah sekolah yang sarana belajarnya paling lengkap maupun sekolah yang hanya mampu mengantarkan anak didiknya ke sekolah-sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi favorit. Sekolah unggul adalah sekolah yang mampu menciptakan iklim literasi di lingkungannya sehingga mampu menjadikan anak didiknya sebagai generasi yang cinta membaca, menulis, dan berdiskusi.