Theodor W. Adorno merupakan salah seorang filsuf kritis terpenting Mahzab Frankfurt. Ialah tokoh yang mempengaruhi pemikiran beberapa filsuf Mazhab Frankfurt generasi selanjutnya seperti Axel Honneth dan Jurgen Habermas. Adorno hidup di masa Perang Dunia II di mana ia menentang kebijakan ultra nasionalisme, fasisme, dan genosida pada beberapa etnis yang digagas oleh Partai Nazi dan Adolf Hitler. Kritik Adorno yang bermula dari permasalahan dalam konteks hidupnya ditujukan bagi rakyat Jerman, terutama kepada masyarakat yang menutup mata pada aktivitas militer yang memobilisasi massa ke penampungan tahanan di Auschwitz. Di satu sisi masyarakat Jerman yang telah membuta tuli merupakan sebagian dai pendukung kejahatan perang terbesar di abad ke-10 tersebut. Namun di sisi lain, terdapat banyak rakyat Jerman yang tidak mengetahui seluk-beluk kebijakan tersebut karena telah diselimuti oleh berbagai informasi pemerintah yang membius. Bagi Adorno, rakyat Jerman juga merupakan korban selama masa kritis tersebut. Kemanusiaan masyarakat Jerman dihapus perlahan melalui ancaman maupun kesenangan. Kesadaran atas diri dan orang lain dibius dengan informasi-informasi yang menjurus kepada kecintaan buta terhadap bangsa sendiri. Ketidak-mampuan untuk melihat kenyataan dan menjadi bagian dari kejahatan internasional merupakan kemunduran yang telah dilakukan oleh orang-orang Jerman tanpa sadar. Pada titik ini Adorno berpendapat bahwa terdapat keberhasilan hegemoni kuasa sehingga masyarakatnya kehilangan pemahaman universal atas definisi manusia. Masyarakat Jerman pada masanya dipaksa secara sistematis untuk mengamini ideologi buta dan mengejar keuntungan dari penindasan atas sebagian warga lainnya.
Selama Nazi berkuasa, masyarakat Jerman nyaris kehilangan kesadaran intersubjektivitas-nya. Tidak ada tetangga Yahudi, tidak ada toko-toko yang dimiliki oleh orang dari latar belakang etnis lain. Tidak ada agama-agama lain yang dapat beribadah di sekitar lingkup hidup masyarakat Jerman. Kenyamanan dan kesenangan semu ini ditopang pula dengan kebanggaan atas identitas mereka sebagai ras unggul di tengah berbagai ras lainnya.

Kesenangan dalam tesis Adorno dinyatakan sebagai agenda awal kapitalisme untuk mendegradasi kualitas manusia. Melalui analisa sosio-psikologis, sistem ini diuraikan sebagai penyakit yang menjauhkan manusia dari pengetahuan dan kemampuan manusiawinya. Sifat natural manusia dibungkam dan ditukar dengan kemewahan yang harus mereka kejar. Manusia dimanipulasi dengan hiburan, kesalehan awam, dan media yang mampu mewadahi ego. Hal yang menjelaskan, mengapa manusia dapat tanpa lelah mengabadikan pemujaan pada dirinya sendiri dengan aneka senyum olahan di media-media baru. Senyum yang (seakan) tidak terkait realita sekitar mereka yang tengah mengais keselamatan karena berbagai musibah, pun yang karam menghitung lambatnya waktu dalam kemenentuan hari atau yang tidak mampu berkutik untuk memperoleh kebutuhan dasar seperti sandang dan tempat tinggal.

Secara praktis manusia didikte menginginkan hal yang tak mereka butuhkan lewat iklan. Tak ada iklan yang menjual kesedihan atau sikap kritis. Hasrat tidak ditafsirkan sebagai pengolahan rasa yang diresepsi, melainkan dorongan untuk menguasai/memiliki. Pada tahap lebih akut, manusia akhirnya dikondisikan mengiklankan diri; menjadi kapstok artifisial yang melayani konsumen kesenangan. Melalui siklus ini manusia menjadi subjek pasif yang tak lagi mampu melakukan refleksi, dan bertindak hanya berdasar kepentingan untuk mendapat pengakuan atas keberadaan yang nir-objektif. Kebahagiaan tidak diukur dari keselarasan hubungan antar manusia namun distandarisasi melalui gaya hidup yang ditawarkan oleh kesenangan massa kapitalistis.