Daerah Malang, secara ekonomis merupakan salah satu target Belanda ketika melakukan agresi militernya yang pertama. Banyak perusahaan perkebunan besar, seperti perkebunan kopi, karet, hingga kakao, baik milik Pemerintah Belanda maupun swasta asing menanamkan modal di daerah ini. Beberapa di antaranya adalah perkebunan Sumber Duren, Sumber Tlogo, Kali Bakar, Sumber Gesing, Lebakredjo, Lungur Dowo, Sumber Kerto, Sumber Djeru, Kali Klepu, Pantjusari, Sumber Tjuleng, Kali Glidik. Selain itu, daerah Jawa Timur merupakan daerah perkebunan tebu, bahkan 75 persen produksi gula Indonesia berasal dari wilayah ini. Untuk menampung panen tebu, di wilayah Malang telah dibangun pabrik gula Kebonagung dan Krebet. Pada 1947, kedua pabrik ini memiliki lahan yang disewa untuk ditanami tebu seluas 720 hektar.

Setelah berhasil menduduki sebagian wilayah Malang, Belanda berupaya menjalin komunikasi dengan pemerintah Republik, baik dalam rangka untuk mengamankan aset-asetnya maupun dalam rangka normalisasi, terutama mengenai persoalan ekonomi. Pada 2 Agustus 1947 pemimpin terkait adalah Wakil Residen, Soejadi. Belanda meminta supaya semua pegawai Republik, juga partikelir masuk bekerja lagi seperti biasa. Oleh Belanda diharapkan supaya jalannya perekonomian bisa kembali seperti biasa. Menindaklanjuti hal itu, pada tanggal 4 Agustus 1947, di pendopo Kabupaten Malang diadakan pertemuan para pegawai Republik dari semua kementerian, dipimpin oleh Soejadi untuk menerima penjelasan dari Recomba Jawa timur, Dr. F.W.T. Hunger. Laporan mengenai pertemuan itu ditulis segera dan langsung dikirimkan kepada P.T. Gubernur Jawa Timur untuk diteruskan ke Pemerintah Pusat. Dalam Kota Malang oleh Belanda diberlakukan Militair Bestuur, dengan memakai penghubung pegawai-pegawai recomba.

Meskipun dalam kondisi diduduki oleh Pemerintahan Militer Belanda namun situasi dalam kota dilaporkan tetap kondusif. Hal itu nampak dari keadaan pasar yang sudah dibuka kembali pada 10 Agustus 1947, dari jam 7.00 pagi sampai jam 13.00 siang, situasi di pasar berangsur normal, hal itu terlihat dari hilir mudik para pedagang dari desa di luar kota untuk masuk ke Kota Malang dengan mudah. Situasi seperti ini yang memang dikehendaki oleh Belanda. Namun, yang membedakan dari hari biasanya harga barang-barang di pasar amat tinggi, kecuali beras yang jumlahnya melimpah, harganya R 1,30 per kati, begitu juga harga ketela rambat yang jumlahnya juga teramat banyak, sementara harga kelapa R 10,- per butir, harga telur R 2,- perbutir, harga daging sapi R 25,- per Kilogram, gula putih dihargai R 2,- hingga R 2,50 per kati, dan harga Kopi R 25,- untuk 1 kati.

Suasana pasar di Kota Malang yang telah dibuka kembali nampak kondusif, itu tergambar dari jual beli kebutuhan sehari-hari amat ramai. Pasar Tjelaket dan pasar-pasar liar di tepi kota terlohat ramai setiap hari. Toko-toko dan warung memang masih sama tutup, namun telah diperintahkan oleh pemerintah kota supaya toko-toko dan warung segera dibuka kembali untuk kembali melayani masyarakat umum. Wlijo-wlijo dari luar tiap hari masuk kota dengan membawa kebutuhan sehari-hari. Persediaan bahan makanan terutama beras dan garam menjadi kebutuhan utama yang memperlukan perhatian tersendiri. Guna mengerahkan usaha-usaha keperluan ini, maka pemerintah karesidenan merencanakan mengadakan organisasi-organisasi untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

*Artikel ini merupakan sub-bab artikel jurnal berjudul Ora ORI Ora: Sikap Pemerintah Malang dalam Polemik Penggunaan Uang di Masa Revolusi milik penulis yang terbit dalam Jurnal Abad, Kemdikbud RI.