ALEGORI GUA DAN PENGETAHUAN MANUSIA
Dalam percakapan yang lebih menyerupai monolog, dua filsuf Yunani Klasik, Platon dan Glaucon mencoba mencari makna dari proses ‘menjadi’. Keduanya bercakap mengenai makna keberadaan seseorang dan proses yang akan dilalui seseorang. Melalui hasil percakapan keduanya, selalu muncul pertanyaan baru. Pada satu titik, keduanya sepakat bahwa dalam mencari tujuan dari perjalanan manusia, mereka tidak dapat terhindar dari asal usul pengetahuan. Episteme (pengetahuan) dan prosesnya untuk diterima oleh manusia dimajaskan Platon seperti komunitas manusia yang sejak dini tinggal di dalam gua. Mereka hidup terasing dunia luar serta tidak mengenali pancaran matahari. Mereka mengetahui pancaran yang datang dari pantulan sinar yang masuk ke dalam gua.
Kondisi tersebut diterima sebagai kenyataan hingga suatu saat, seseorang di antara mereka memberanikan diri untuk keluar gua. Pada mulanya matanya terasa sakit karena paparan sinar di siang hari, namun perlahan ia dapat menyesuaikan diri sehingga mulai mampu melihat berbagai warna dan bentuk dengan jelas. Ia mulai mengenal ranting pohon, bunga liar, awan, dan hewan-hewan yang hilir mudik, ialah hewan-hewan yang selama ini hanya diketahuinya melalui pantulan cahaya di dalam gua.
Kisah ini menggambarkan tahapan lanjut setelah Platon menjabarkan Alegori Gua. Tujuan dari alegori ini ialah untuk menggambarkan kemampuan manusia menyerap informasi yang diterima oleh indra dan pengolahannya dalam nalar. Informasi empiris dari penyerapan indera diafirmasi oleh Immanuel Kant, dimana pengalaman merupakan salah satu inisiator saat manusia pertama kali memperoleh pengetahuan. Seperti manusia yang keluar gua, manusia berada pada tahap ‘menjadi’. Pada tahap ini manusia berjalan mencari asal-usul dari hal yang diketahui sebelumnya; baik melalui rasio murni, pengalaman, dan bahkan wahyu. Sementara dorongan manusia untuk keluar dari kegelapan adalah apa yang oleh Platon dikatakan sebagai pendakian jiwa menuju dunia intelektual. Dorongan ini muncul saat jiwa manusia merindukan ide akan sumber cahaya, melebihi keredupan yang selama ini meliputinya. Kebangkitan dalam alegori ini dapat terjadi hanya jika jiwa manusia merasa diterangi dan ingin mencari pancaran sinar yang lebih dari sebelumnya. Manusia yang mencari-cari, bertanya-tanya, ialah sifat filsufis manusia yang primordial.
Comments :