Di masa studi sekolah dasar, mungkin beberapa guru olah raga pernah mengajarkan mengenai peribahasa “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.” Peribahasa ini kita kenal dalam frasa latin mens sana in corpore sano. Tujuan dari ajaran ini adalah untuk membuat seorang anak memahami betapa pentingnya berolahraga dalam menjaga kondisi tubuh baik secara fisik maupun psikis. Pencetus semboyan ini adalah Decimus Iunius Juvenalis, seorang penyair dari Aquino yang dikenal karena mempopulerkan aliran satir dalam kesusastraan Romawi klasik abad ke-dua Masehi. Namun pada masa pandemi global saat ini, kita mendengar kembali anjuran-anjuran senada guna memotivasi kita untuk mempertahankan imunitas tubuh. Terdapat beberapa hal yang perlu ditelisik kembali dari semboyan klasik ini agar selanjutnya dapat menjadi salah satu paradigma yang diperhitungkan dalam perkembangan pendidikan karakter di Indonesia.

Penelisikan pertama bermula dari pertanyaan, “Apakah kondisi tubuh berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan seseorang?”. Pertanyaan ini muncul sebagai salah satu konsekuensi mengenai pemahaman atas manusia sebagai sebuah kesatuan tubuh dan jiwa. Pernyataan yang diperjelas oleh Rene Descartes ini menunjukkan bahwa baik tubuh maupun jiwa memiliki distingsi yang nantinya akan berpengaruh pada kondisi seseorang. Konsekuensi selanjutnya ialah kemunculan klaim yang membagi manusia dalam stereotipe-stereotipe modern, misalnya gambaran seseorang yang memiliki fisik sempurna bisa jadi merupakan seorang yang tidak cakap atau kurang bijaksana. Pada tahap ini kondisi fisik dianggap memutus kemampuan psikis manusia untuk berkembang. Pengagungan atas intelektualitas akan menuding kekuatan fisik sebagai ancaman sehingga muncul ungkapan seperti “unggul fisik” atau “unggul otot”. Sebaliknya pemujaan atas tubuh pada tahap tertentu juga menjadi bencana bagi perkembangan psikis seseorang. Hal ini ditunjukkan misalnya dengan pengamatan atas pola konsumsi suplemen, produk kecantikan, dan fashion yang meningkat drastis pada tahap yang tidak dapat diterima oleh akal sehat publik sebelumnya.

Pemberhalaan ini selanjutnya menimbulkan ekstrimisme di antara para pemuja kesehatan tubuh dan ketajaman berpikir. Ialah pertaruhan sia-sia yang terjadi karena manusia gagal memahami bahwa fungsi distingsi ialah untuk memahami proses penyatuan di antara kedua substansi yang tengah diperbincangkan. Dengan kata lain hubungan tubuh dan jiwa -atau yang selebihnya dapat digambarkan sebagai kondisi psikologis- merupakan sebuah kesatuan yang saling mempengaruhi. Salah satu contoh ialah pada saat seseorang sedang kebingungan, maka ia akan abai dengan kondisi tubuhnya sehingga menimbulkan perilaku seperti melipatkan kaki, membuka mulut, berkedip dengan cepat, atau merasakan gatal di kepala. Contoh lain adalah gejala psikosomatik seperti rasa mual dan nyeri yang dapat dirasakan seseorang apabila ia mengalami tekanan psikis.

Hormon sebagai salah satu zat kimia yang diproduksi dan dikelola oleh tubuh kerap menjadi kambing hitam bagi perilaku immoral seseorang. Menyuntikkan zat penghilang hormon menjadi upaya alternatif yang tengah dipertimbangkan beberapa negara guna penanggulangan perilaku yang dianggap menyimpang atau salah di mata hukum. Sementara hormon yang diproduksi oleh manusia dapat dihasilkan dari kinerja beberapa organ tubuh seperti otak dan pankreas, yang mengindikasikan bahwa kebebasan seseorang untuk menjaga pola biologis dan pola pikir juga menentukan proses produksi hormon-hormon tersebut.

Hormon selanjutnya membawa kita pada pertanyaan mengenai, “Otoritas yang memimpin, di antara tubuh dan jiwa?”. Pertanyaan ini selanjutnya menjadi batu sandungan untuk mengelola kondisi psikis dan tubuh manusia dikarenakan keduanya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi. Baik tubuh dan jiwa memiliki kemampuan untuk menerima informasi atau pengaruh dari luas, yang selanjutnya akan diproses di dalam tiap bagiannya. Tubuh dan jiwa menjadi sebuah kesatuan sebagaimana kecerdasan artifisial yang membutuhkan perangkat keras sebagai media untuk memanifestasikan kinerjanya. Pada kondisi ini perangkat keras tidak juga akan bekerja secara mandiri karena perintah-perintah dari luar akan diproses bersamaan dengan keberadaan perangkat lunak yang memadai.

Manusia tidak dapat menunjuk kekurangan fisik sebagai penyebab utama dari gejala abnormalitas sifat manusia karena kondisi fisik tersebut merupakan manifestasi dari pemrosesan sifat amaterial dalam diri seseorang. Sebaliknya kita juga tidak dapat berdiam diri dan tidak mempertimbangkan pengolahan tubuh yang seimbang agar kondisi psikologi tetap terjaga. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan dari beberapa tradisi spiritual untuk menjaga pola makan, jam biologis, dan pengolahan gerak tubuh. Sama halnya dengan spiritualitas, pendidikan sebagai jalan pemajuan kualitas hidup manusia perlu mempertimbangkan hal yang sama. Kinerja otak manusia yang menjadi perangkat utama dalam proses berpikir memerlukan upaya pengolahan diri yang tepat. Olahraga dapat menjadi salah satu alternatif selain pola hidup sehat dan pengaturan jam biologis yang sepadan dalam upaya meningkatkan kualitas belajar dan mengajar dalam upaya mengembangkan karakter diri manusia.