Pada sebuah proses perkuliah terdapat suatu dialog dengan seorang mahasiswa yang menceritakan keengganannya dalam berbagi pengalaman atas sebuah proses pembelajaran. Di samping studi formalnya, ia tengah mempelajari pola marketing masyarakat kontemporer dalam hubungannya dengan siklus astrologi. Dari diskusi tersebut muncul pertanyaan singkat: apakah seseorang layak untuk mempelajari suatu pengetahuan (sebuah sistem pengetahuan yang masih dianggap superstition atau bersifat magis) yang tidak atau belum diterima dalam paradigma sains modern?

Sebagai insan intelektual, baik pengajar maupun peserta didik perlu mendudukan perkara pada hal yang telah mapan, ialah ilmu-ilmu yang telah mengalami proses observasi, verifikasi, legalitas, dan pengkajian kembali. Ilmu-ilmu mapan dalam bidang sosial seperti politik, geografi, psikologi, dan sosiologi menjadi landasan untuk melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan baru. Namun pertimbangan menjadi berbeda ketika kaum intelektual dihadapkan dengan lautan pengetahuan yang belum terpetakan atau yang belum dikenal hulu pemikirannya. Posisi ini akan mendorong seorang pendidik, misalnya, untuk terjun ke laut bebas pengetahuan yang masih belum memiliki legalitas atau bukti terverifikasi, hal ini akan memunculkan kekhawatiran bahwa seseorang akan tenggelam dalam pengetahuan yang tidak relevan bagi kehidupannya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, seorang intelektual perlu kembali menengok sejarah kelahiran ilmu pengetahuan. Sebuah ilmu pengetahuan disebut demikian karena terdapat perkembangan-perkembangan dari pengetahuan yang sebelumnya muncul dan memiliki signifikansi nyata bagi kehidupan manusia. Selain itu ilmu pengetahuan lahir dari uji coba, penerimaan masyarakat, dan metode-metode yang telah diuji pula sebelumnya. Ribuan tahun sebelum Masehi, berbagai peradaban besar telah menciptakan ilmu pengetahuan yang diwariskan dalam bentuk bangunan, arsitektur, manuskrip, maupun pantun. Namun banyak dari warisan tersebut kemudian hilang seiring dengan bergantinya peradaban sehingga menyisakan puing-puing pengetahuan yang kini dianggap sebagai bagian dari tradisi.

Perdebatan mengenai karakterisasi suatu hal dianggap sebagai ilmu pengetahuan memang menjadi ajang perdebatan filsafat yang sulit. Namun, saat ini kita dapat melihat bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dipahami berdasarkan metode dan kompilasi teorinya tentang aspek-aspek kehidupan, melainkan dari hasil yang dicapainya. Misalnya, keberadaan objek-objek arkeologis menjadi bukti bahwa suatu keterampilan khusus pernah ada jauh sebelum masa kini. Masyarakat di masa lampau memiliki pengetahuan tentang batu dan mengetahui pula cara mengelolanya. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak mungkin ada begitu saja tanpa adanya pendekatan empiris dan kategoris terhadap sifat batu tersebut.

Saat ini perdebatan mengenai ilmu pengetahuan dan pengetahuan memuncak dengan hadirnya saintisme. Saintisme secara umum dapat digambarkan sebagai gerakan yang memuja ilmu pengetahuan di atas spiritualitas atau mode manusia lainnya. Saintisme juga mendorong pemurnian sains yang menyebabkannya justru sulit berkembang. Pemilahan sains dan pengetahuan memperbesar jarak di antara keduanya sehingga ilmu pengetahuan kehilangan sumbernya. Dalam menghadapi hal ini, pendidik maupun pelajar perlu terbuka dengan pertanyaan dan dugaan yang belum memiliki landasan kuat, ialah sebagai kritik atau masukan yang ‘mustahil’ namun mampu melahirkan hal-hal baru.