Co-creation mengacu pada kerjasama kolaboratif antara perusahaan dengan konsumen dimana keduanya saling berinteraksi, belajar, berbagi informasi, dan mengintegrasikan sumber daya masing-masing untuk dapat mengembangkan atau meningkatkan produk yang ada Prahalad & Ramaswamy (2004). Selain bekerjasama dengan konsumen, perusahaan dapat juga saling bekerjasama untuk dapat membentuk co-creation (Roser & Samson, 2009). Co-creation timbul karena adanya perubahan paradigma pasar dari company-centric menuju pada consumer-centric. Dengan adanya perubahan paradigma ini, konsumen makin mudah untuk memperoleh informasi, menyebabkan pengetahuan dan kebutuhan akan produk yang dikonsumsi akan makin beragam dan kompleks pula, makin aktif, serta makin terhubung dengan perusahaan (Ramaswamy, 2008; Holland & Baker, 2001). Tidak hanya itu, sekarang konsumen pun mencari pengaruh mereka di dalam perusahaan, berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka yang selama ini tidak dapat disediakan oleh perusahaan yang pada akhirnya membuat konsumen jadi ingin berkomunikasi dan ikut ambil bagian dalam penciptaan nilai atau co-create value (Prahalad & Ramaswamy, 2004; Hoyer, Chandy., Dorotic, Krafft, & Singh, 2010; Ernst, Hoyer, Krafft, & Soll, 2010). Keinginan konsumen yang makin kompleks, disertai dengan kemampuan perusahaan dalam menciptakan value, membawa kedua pihak menuju ke pertukaran sumber daya dan kemampuan yang pada akhirnya membawa masing-masing pihak pada kerjasama kolaboratif untuk menciptakan nilai (Vargo, Maglio, & Akaka, 2008).

       Penerapan co-creation sendiri memiliki tipe, tingkatan, dan dimensi yang berbeda-beda. Pater dalam Kaminski (2009) menjelaskan bahwa tipe penerapan co-creation ini dapat dibagi menjadi Club of Experts, Crowd of People, Coalition of Parties, dan Community. Dari tingkatan penerapannya, menurut Hoyer et al (2010), co-creation dibagi ke dalam beberapa tingkatan antara lain ideation & product development, commercialization & post launch. Sementara dimensi penerapan co-creation dapat disingkat dalam DART (Dialogue, Access, Risk Benefits, dan Transparency) (Prahalad & Ramaswamy, 2004; Ramaswamy, 2008; Kaminski, 2009).

REFERENSI

Asdi, E. (2011). Industri Kreatif sebagai Industri Antikrisis. Diakses tanggal 20 September 2013 dari http://indonesiakreatif.net.

Bloch, P. S. C & Arnold, T. (2009). Exploring the Origins of Enduring   Product Involvement. Qualitative Marketing Research: An International Journal. 49–69.

Bolton, R. N. & Iyer, S. S.. (2009). Interactive Services: A Framework, Synthesis and Research Directions. Journal of Interactive Marketing. 91-104

Departemen Perdagangan Republik Indonesia. (2009). Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia.

Frankee, N. P. K & Steger, C. J. (2009). Testing the Value of Customization: When do Customers Really Prefer Products Tailored to Their Preferences. Journal of Marketing. 103–121.

Ghafelehbashi, S., Asadollahi, A., & Nikfar, F. (2011). Acquaintance with All Types of Involvement in Consumer Behavior. Journal of Contemporary Research in Business. 493-507

Tappe, A. S. (2010). Co-Creation Theory: Marketing Last Resort’s or Just Momentary Buzz. Den Haag: The Hague University of Applied Sciences.