Seperti yang kita alami dan pahami bersama, Pandemi sudah menjadi krisis yang bukan lagi ancaman dikala awal Januari 2019, namun sudah menjadi hal yang membuat seluruh manusia bergidik ngeri. Mulai dari menggulingkan kehidupan kita sehari-hari dengan kecepatan yang memusingkan. Rencana liburan keluar kota terhenti, sekolah, toko, restoran, dan tempat hiburan tutup. Liga olahraga menangguhkan musim mereka, hotel-hotel dikosongkan, konser-konser yang biasanya memekakkan telinga hingga 1 tahun ini tidak terdengar lagi, bahkan poster-poster usang yang sudah lewat tanggalnya di trotoar jalan pun tidak ada.

Berjuta-juta orang mendapati diri mereka terkunci, bekerja dari rumah atau tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Berbulan-bulan isolasi diri total dan penguncian sebagian menjadi norma. Dalam banyak kasus, kendala pengeluaran yang signifikan dengan cepat dan dramatis mengubah cara konsumen berperilaku. Dari hal ini kita mengetahui bahwa pentingnya memahami Perilaku Kosumen merupakan hal sesuatu yang tidak bisa abaikan, terutama bila kita memiliki profesi sebagai penjual. Hal ini dikarenakan, kita tidak dapat menjual sesuatu bila orang yang ingin membeli merasa tidak membutuhkan atau tidak menginginkannya. Menurut Kotler dan Keller (2008;116), perilaku konsumen adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan bagaimana barang, jasa, ide atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhkan dan keinginan mereka.

Secara langsung maupun tidak langsung, Pandemi Covid-19 telah mengubah cara hidup banyak orang, mungkin juga termasuk kita. Dimana kita saat ini lebih banyak menghabiskan banyak waktu di rumah, sanitizer pun kerap kali menjadi barang wajib yang ada di tas kita, selayaknya pahlawan super amatir kita pun tersontak bila lupa menggunakan masker saat harus beraktivitas di luar rumah. Bahkan bila kita lihat akhir-akhir ini, beberapa rumah memiliki wadah memencuci tangan khusus diteras mereka, selayaknya rumah-rumah kakek nenek kita dahulu, yang masih menggunakan gentong dan panjuran air. Namun yang ada beberapa hal yang tentunya tidak berubah yaitu, kita sebagai manusia tetap membutuhkan sesuatu, karena kita tidak bisa memproduksi tissue, tidak bisa masak seenak masakan seperti di restoran bintang lima, membetulkan laptop selayaknya ahli service, bahkan memotong rambut kita agar tetap terlihat menarik saat memposting foto selfie pada Feed Instagram.  Dari sudut pandang ini, kita dapat menfaatkan sebagai sarana untuk berfikir secara efektif. Terutama bagi kita yang berencana membuka usaha pada era cara hidup baru ini, yaitu :

  1. Adaptasi Online

Penguncian Covid-19 telah membuat warga Indonesia bekerja, berbelanja, bersosialisasi, dan menghibur diri mereka sendiri secara online lebih dari sebelumnya, beberapa untuk pertama kalinya. Ini hanya meningkatkan kenyamanan mereka dengan teknologi dan pengalaman digital, tetapi juga selera mereka. Dengan beberapa negara dikunci sebagai blok dan pembatasan lainnya dilonggarkan, banyak yang akan terbuka untuk pengalaman baru seperti pembayaran tanpa sentuhan, layanan berbasis aplikasi, augmented reality atau virtual reality, dan banyak lagi. Untuk organisasi perhotelan, ini harus dilihat sebagai undangan untuk berinovasi dan berinvestasi dalam teknologi digital.

  1. Menjaga Pelanggan

Setiap bisnis sektor perhotelan perlu secara aktif terlibat dengan konsumen dan mengomunikasikan langkah-langkah yang mereka ambil untuk menjaga keamanan pelanggan dan karyawan dan menunjukkan bagaimana mereka memenuhi komitmen tersebut di setiap titik interaksi. Perusahaan yang menyesuaikan penawaran mereka untuk mencerminkan perubahan preferensi dan perilaku menunjukkan keinginan mereka untuk mendengarkan, memahami, dan menanggapi pelanggan mereka. Dalam waktu dekat, ini dapat membantu memperdalam kepercayaan konsumen pada organisasi, mendorong jenis ikatan yang dapat mendorong pertumbuhan dan kesuksesan di masa depan. Konsumen akan mengingat merek yang memperhatikan dan “merawat” mereka selama ini. Mempertahankan dan membangun kepercayaan akan sangat penting untuk bisnis dari semua ukuran, tetapi organisasi perhotelan yang lebih besar cenderung memiliki keuntungan mengingat kemampuan mereka yang lebih besar tidak hanya untuk berinvestasi dalam peningkatan membangun kepercayaan tetapi juga untuk memastikan konsumen mengetahui tentang tindakan yang diambil. Dampak Covid-19 terhadap pengalaman pelanggan di sektor perhotelan tidak dapat disangkal. Dampaknya pada realitas operasional juga tidak dapat diremehkan. Dan dengan jalan menuju pemulihan yang cenderung bergelombang, karena dunia menghadapi pasang surut semua ini, organisasi yang dapat mempertahankan kelincahan operasional akan lebih mampu menavigasi ketidakpastian di masa depan.

Sumber: Kotler, Philip & Keller. (2008). Manajemen Pemasaran. Edisi Ketigabelas. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.