Negosiasi sebagai seni berbisnis
Menyelesaikan kesepakatan sangat penting untuk kesuksesan dalam bisnis. Sangking krusialnya, banyak sekali pelatihan yang diperjual belikan, hingga teknik berbicara, copywriting, hingga teknik mempengaruhi secara psikologi kepada calon konsumen. Tetapi tetap saja tidak ada teknik tunggal yang seratus persen berhasil dalam negosiasi. Hal ini terjadi disegala bentuk bisnis, mau bisnis personal maupun bisnis keluarga. Mari kita berdiskusi terkait salah satu bentuk bisnis yaitu bisnis keluarga, yang proses bisnisnya biasanya sudah berjalan cukup lama, saling menyambing dari satu generasi ke generasi lainnya. Bagi penerus estafet bisnis, pasti menemukan dirinya bernegosiasi untuk membeli bisnis lain, di mana si penerus ini dan rekan-rekannya (mungkin orang baru atau orang lama) harus meyakinkan orang yang berkerjasama bahwa mereka mendapatkan hasil terbaik. Seringkali kasus menemukan cara untuk mendapatkan sesuatu sebagai imbalan atas konsesi utama.
Terdapat tren kesepakatan baru-baru ini, poin utama yang mencuat adalah fakta bahwa beberapa rekanan bisnis/vendor menginginkan hak untuk mempertahankan namanya di gedung tempat bisnis pemilik berada. Bahkan rekanan bisnsi tersebut juga ingin mempertahankan semacam warisan di perusahaan yang telah dia bangun, sejak lama dengan penanggung jawab lama, sebelum estafet kepemimpinan dialihkan. Hal seperti ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan pengambilan keputusan sepihak, seperti pemberhentian kontrak kerja sama, karena mungkin saja akan mempengaruhi workflow dan supply chain yang sudah lama berjalan dan membudaya. Melainkan dengan pendekatan personal dan negosiasi.
Tentu saja, hasil yang diinginkan adalah win-win solution, dimana semua pihak merasa tidak rugi bahkan bahagia dengan apa yang disepakati, yang bisa diumpamakan dengan mengizinkan perekanan tersebut untuk mempertahankan namanya di atas gedung tempat pemilik baru selama beberapa tahun berikutnya, misal 5 tahun berlisensi, dengan imbalan pembiayaan 20 persen dari harga pembelian dari kerjasama selama 5 tahun dengan biaya minimal. Tentu, dibutuhkan waktu dan momen yang tepat untuk mencapai kesepakatan tersebut, namun bukan berarti tidak mungkin. Yang jelas tidak mungkin apabila secara sepihak pemilik baru mengeluarkan pernyataan atas nama perusahaan.
Hal diatas merupakan sebagian kecil contoh dari pentingnya negosiasi, yang sebenarnya tidak hanya pada vendor rekanan yang sudah berkerjasama lama saja, namun bisa saja terjadi pada pemasok baru, vendor pengiklan baru yang sedang naik daun, atau bahkan dari sisi internal perusahaan, yaitu karwayan perusahaan sendiri. Hal ini membutuhkan pendekatan yang berbeda, yang kata banyak orang, mirip dengan bermain catur yang memiliki pendekatan berjalan yang berbeda-beda, untuk menerapkan teknik “menekan” lawan sehingga meminimalisir resiko kerugian atau bahkan kalah. Bahkan, bila kita bersama sempat membaca buku The Art of War, buku strategi militer China oleh Sun Tzu, dikala kita berada diposisi yang kuat (misal, pemilik perusahaan terhadap karyawan) mungkin akan lebih menenangkan, namun dalam kondisi tertentu perasaan tersebut tidak selalu demikian. Selain itu, reputasi dan sejarah masalalu kitapun dapat menjadi kunci untuk berhasil dalam sebuah proses bernegosiasi dikeadaan tertentu.
Dalam dunia negosiasi, entah dalam hal bisnis atau dalam hal personal, pun terdapat banyak sekali persoalan dan aturan yang tidak tertulis, yang biasanya harus kita kompromikan. Seringkali untuk bernegosiasi apa pun pasti kita memiliki apa yang dia sebut “garis biru”, di mana kita bersedia berkompromi dengan imbalan sesuatu yang lain, dan “garis merah”, di mana kita apapun yang terjadi tidak mau mengalah atau tidak ingin kesepakatan secara terpaksa diambil. Sehingga ada baiknya sebelum terjadi proses negosiasi, negosiator mempersiapkan cukup waktu, setiap sebelum negosiasi memutuskan dengan tepat apa yang diinginkan sebagai imbalan jika dia harus berkompromi pada salah satu masalah garis birunya.
Comments :