Smart city merupakan sebuah konsep kota yang memanfaatkan teknologi informasi untuk mengintegrasikan seluruh infrastruktur dan pelayanan dari pemerintah kepada warga masyarakat. Penerapan konsep smart city dalam sebuah perencanaan kota ialah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan meningkatkan layanan masyarakat dengan mengintegrasikan beberapa elemen yang ada di perkotaan seperti pemerintahan, ekonomi, kualitas hidup, lingkungan, sumber daya manusia, dan transportasi.

Smart city memberikan jaminan untuk membuat semakin banyak kota di seluruh dunia memiliki pengelolaan yang cerdas dengan mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan dan pengelolaan kota. Hal ini mendorong peran aktif dan partisipasi masyarakat dalam mengelola kota sehingga terjadi interaksi yang lebih dinamis dan erat antara warga masyarakat dengan penyedia layanan, dalam hal ini adalah pemerintah di setiap negara. Implementasi smart city di Indonesia sendiri mengalami berbagai kendala, mulai dari infrastruktur penunjang yang belum memadai, kesiapan pemerintah setempat, hingga masyarakat sendiri yang belum mampu memanfaatkan teknologi digital secara maksimal.

Konsep smart city telah menjadi isu besar di berbagai penjuru dunia saat ini. Konsep ini pada awalnya diciptakan oleh perusahaan IBM pada tahun 1990-an setelah sebelumnya sempat dibahas para ahli dunia dengan nama digital city. IBM memberikan pengertian awal bahwa smart city adalah kota yang setiap instrumennya saling berhubungan dan berfungsi secara cerdas. Kemudian pengertian ini diperluas dan memberikan jaminan untuk membuat semakin banyak kota di seluruh dunia memiliki konsep yang cerdas dengan mengimplementasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pembangunan dan pengelolaan kota untuk meningkatkan kualitas hidup warganya.

Boyd Cohen telah melakukan penelitian mengenai smart city sejak tahun 2011 dan mencoba untuk memahami konsep dari smart city ini, serta mengamati transformasi beberapa kota yang telah mengimplementasikannya. Ia telah menyimpulkan bahwa ada 3 (tiga) fase penting yang berbeda tentang tahap-tahap dimana teknologi mulai diimplementasikan dalam pembangunan kota. Ia mengamati dari masa dimana teknologi hanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar, saat pemerintahan mulai digerakkan oleh teknologi, dan terakhir ketika warga masyarakat digerakkan oleh teknologi dalam hidup sehari-hari. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah Smart City 1.0, 2.0, dan 3.0.

  • Smart City 1.0: Technology Driven

IBM dan beberapa perusahaan teknologi multinasional di Amerika lainnya telah melihat potensi teknologi untuk mengubah kota menjadi tempat yang lebih efisien dan didukung oleh teknologi tinggi untuk para inovatornya. Bukan rahasia lagi bahwa kota-kota di seluruh dunia saat ini sedang bersaing ketat untuk menerapkan visi smart city dalam pengelolaannya. Visi teknologi-sentris dari smart city tentu dapat menarik inovator teknologi perkotaan, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan ketersediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi kota.

Smart City 1.0 dicirikan oleh penyedia teknologi yang mendorong teknologi sebagai solusi yang tepat dalam pengelolaan kota dan menekankan bahwa teknologi dapat mempengaruhi kualitas hidup warga. Smart City 1.0 juga merupakan filosofi yang mendasari di balik sebagian besar proyek-proyek smart city yang dibangun terlebih dahulu di Portugal hingga di Songdo, Korea Selatan dari perusahaan Living PlanIT dan Cisco. Dalam bukunya, Smart Cities, Anthony Townsend memberikan kritik yang cerdas terhadap Smart City 1.0 dengan alasan bahwa visi urban futuristik yang didorong oleh teknologi akan kehilangan bagian penting dari bagaimana kota berinteraksi dengan warganya.

  • Smart City 2.0: Technology Enabled, City-Led

Pada fase ini, kota telah dipimpin oleh walikota beserta administrator kota yang berpikiran maju. Dalam hal ini administrator kota membantu pemimpin untuk menentukan masa depan kota dan berperan dalam menerapkan teknologi cerdas dan inovasi-inovasi yang cemerlang. Mereka akan fokus untuk menemukan solusi agar teknologi dapat menjadi sarana utama untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Salah satu contoh dari Smart City 2.0 adalah ketika Walikota Rio pergi ke kantor IBM untuk mencari ahli yang dapat membuat teknologi sensor jaringan untuk mengurangi bencana tanah longsor di lereng bukit Favelas. Proyek ini kemudian menjadi perhatian dunia, terutama pada abad ke-21 ini setelah teknologi-teknologi terus berkembang dan mulai digunakan untuk mendeteksi dan mencegah tindak kejahatan dan untuk administrasi layanan darurat yang terintegrasi dalam smart services.

Sebagian besar kota-kota terkemuka di dunia yang menerapkan konsep smart city, misalnya Barcelona, telah memiliki lebih dari 20 wilayah dengan program smart city, ratusan ruang publik telah tersambung dengan jaringan wi-fi, angkutan umum dengan smart lighting (automatic on-off, energy usage detection, CCTV monitor), serta promosi infrastruktur pengisian kendaraan listrik. Walikota Barcelona telah berusaha untuk memimpin dengan inovasi global dengan tidak hanya memulai banyak proyek, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri smart city dan city network melalui Smart City Expo. Seperti banyak kota terkemuka lainnya, Barcelona telah membaca peluang secara signifikan untuk menggunakan teknologi untuk memfasilitasi peningkatan kualitas hidup baik bagi warganya maupun bagi para pengunjung/ turis.

  • Smart City 3.0: Citizen co-creation

Pada tahun 2014, model baru telah mulai muncul, dimana kota-kota yang menerapkan konsep smart city mulai merangkul warganya untuk mendorong generasi masa depan menciptakan model kota yang lebih cerdas (smart) lagi. Misalnya, Kota Wina dan Barcelona, kota-kota yang aktif menerapkan konsep smart city dengan membangun ratusan proyek. Tetapi beberapa dari proyek tersebut memiliki nuansa yang berbeda, misalnya, dalam kemitraan dengan perusahaan energi lokal, Wien Energy, Wina mengajak warganya untuk turut menjadi investor di pembangunan pembangkit listrik tenaga surya lokal sebagai kontribusi dalam misi sebagai kota dengan sumber energi terbarukan tahun 2050. Hal ini juga diikuti dengan fokus yang kuat dalam melibatkan warga negara untuk menangani masalah perumahan dan kesetaraan gender.

Kota lainnya, Vancouver, juga menjadi salah satu pelopor pembuatan strategi kolaboratif yang ambisius dengan melibatkan 30.000 warganya dalam kerja sama pembentukan Action Plan Vancouver Greenest City tahun 2020. Begitu juga Barcelona, baru saja menyelesaikan proyek inovasi (disebut BCN Open Challenge) dimana kota tersebut memposting 6 (enam) tantangan dan memanfaatkan platform pribadi, Citymart, untuk mengumpulkan ide-ide baik dari warganya maupun dari inovator lokal dan global.

Smart City 3.0 tidak hanya diterapkan oleh kota-kota di negara maju saja. Kota Medellin di Kolombia, salah satu pelopor smart city di Amerika Selatan, merupakan pemenang penghargaan sebagai Kota Inovatif tahun 2013 dari Urban Land Institute. Medellin telah berfokus pada regenerasi perkotaan dari bawah ke atas dengan melibatkan warga dari lingkungan kota yang paling berpengaruh secara langsung di dalam proyek transformatif, seperti proyek kereta gantung, tangga listrik, serta sekolah-sekolah dan perpustakaan baru yang didukung dengan teknologi. Tak hanya itu, Medellin juga telah memperluas komitmennya bagi para inovator dari warganya sendiri dengan mengembangkan sebuah distrik/ wilayah inovasi untuk menarik dan mempertahankan bakat kewirausahaan warga.

  • Smart City 4.0 : Industrial Revolution

Konsep smart city terus mengalami perkembangan yang cepat dari tahun ke tahun dengan mengikuti arus perkembangan teknologi dan inovasi. Konsep terbaru smart city yaitu Smart City 4.0 baru saja hadir pada tahun 2017 yang diluncurkan oleh Grup Innovation Acceleration dari Universitas Berkeley California, Amerika Serikat. Konsep Smart City 4.0 muncul sebagai aksi dari adanya Revolusi Industri 4.0 dengan membawa inisiatif untuk mengembangkan keterampilan para inovator dan pengusaha muda di bidang industri teknologi. Smart City 4.0 bertujuan untuk mengembangkan keterampilan untuk revolusi industri 4.0 dan mempercepat pengembangan teknologi bagi inovator-inovator muda, start-up, dan perusahaan-perusahaan teknologi untuk menciptakan solusi terbaik untuk menjadikan kota semakin cerdas (smart), aman, dan berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk turut berkontribusi pada Agenda PBB tahun 2030, khususnya dalam Sustainable Development Goals.

Sebagai permulaan, Universitas Berkeley telah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar di Silicon Valley mengembangkan keterampilan industri, percepatan pengembangan teknologi, menciptakan start-up untuk mengembangkan smart city di India dengan membangun Laboratorium Smart Co-Innovation. Model Smart City 4.0 ini diluncurkan dengan kerja sama dengan United States India Strategic Partnership Forum (USISPF) and 1M1B (1 Million for 1 Billion).

Laboratorium Smart Co-Innovation didirikan di Allahabad, India dan dirancang untuk menjadi tempat dimana perusahaan-perusahaan besar, menengah, serta perusahaan baru akan berinovasi dengan warga untuk menciptakan solusi dan menciptakan model bisnis berkelanjutan secara bersama-sama. Area pengembangan utamanya ialah pada bidang Artificial Intelligence (AI), Air, Energi, Transportasi, Pengelolaan Limbah, Kesehatan, Iklim, dan Pertanian Cerdas (smart farming).

 

Sumber:

Boyd Cohen,  2015, The Three Generations of Smart Cities, https://www.fastcompany.com/3047795/the-3-generations-of-smart-cities

Naashir, 2014, Smart City, https://naashir.wordpress.com/2014/11/07/smart-city/

NN., 2017, Smart City 4.0, https://berkeleysmartcities.com/