Sebagaimana kesadaran dibuktikan oleh Rene Descartes ketika kita mampu mempertanyakan keraguan kita, demikian pula manusia pada umumnya mulai menyadari kondisi yang melingkupi setelah banyak pertanyaan mulai mempengaruhi keputusan hidupnya. Fase di mana berbagai pertanyaan mengenai kehidupan saat ini dan masa depan mulai bermunculan mengakibatkan manusia mengalami masa-masa kritis atas eksistensinya. Fase ini pada umumnya muncul ketika manusia tengah menjalani perempat awal kehidupan, yang oleh Erik Erikson disebut sebagai Quarter Life Crisis. Lalu bagaimana para filosof eksistensial menjawab berbagai pertanyaan yang sama dengan krisis kehidupan kita saat ini?
Eksistensialisme merupakan salah satu cabang filsafat yang mempertanyakan kebebasan dan keterarahan hidup manusia. Pemahaman para filosof mengenai eksistensi manusia dan berbagai relasi di dalamnya bukan berasal dari buku atau pendidikan perkuliahan di jurusan filsafat semata. Eksistensialisme dan teori-teori yang mendukungnya justru berasal dari pengalaman manusia setelah bertemu dengan dunianya. Pada pertemuan tersebut terdapat proses kegelisahan di mana manusia mulai bertanya-tanya mengenai eksistensi dirinya.
Beberapa pertanyaan eksistensialis sering kita temukan juga dalam pertanyaan orang lain ke pada sesamanya atau dalam pertanyaan kita ke pada diri sendiri. Beberapa pertanyaan eksistensialisme di antaranya ; Siapakah diriku yang sebenarnya? Apa tujuan hidupku? Apakah aku memiliki kebebasan? Apakah keberadaanku berarti bagi orang lain? Inikah hidup yang benar-benar ku inginkan? Beberapa pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan dalam fase Quarter Life Crisis. Jika kita pernah mempertanyakan hal yang sama, maka teman seperjalanan kita ialah para filosof eksistensialis seperti Soren Kierkegaard, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas, Simone de Beauvoir, Claude Lefort, dan Albert Camus.
Para filosof memiliki persamaan dengan mereka yang berada pada fase Quarter Life Crisis karena pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul saat manusia telah mampu keluar dari kenaifan dan mampu untuk bertanya-tanya mengenai dunianya. Pertanyaan-pertanyaan ini akan dianggap sebagai bukti kedewasaan seseorang apabila mampu terjawab, atau setidaknya merubah pandangan seseorang tersebut atas dunia yang lebih baik. Dengan kata lain Quarter Life Crisis merupakan sebuah fase wajar untuk dilalui, di mana seseorang layak mengkaji hidup sebelum melanjutkannya kembali.
Martin Heidegger misalnya, pernah mempertenyakan mengenai kematian dan kebebasannya sebagai manusia. Ia pernah menyatakan di dalam bukunya yang berjudul Being and Time (1927), ‘Jika aku memasukkan kematian ke dalam hidupku, emngakuinya, dan menghadapinya dengan jujur, maka aku akan terbebas dari kecemasan akan kematian dan kepicikan hidup. Dengan demikian dan hanya dengan demikian aku akan bebas untuk menjadi diriku sendiri.’ Selain Heidegger, Jean Paul-Sartre juga pernah mempertanyakan. ‘Mengapa kehidupan di sekitar kita selalu berada di luar kendali?’ Melalui karyanya yang berjudul Being and Nothingness (1943), ia menyatakan bahwa manusia memang dilahirkan dengan kutukan menjadi bebas. Dengan kebebasan ini kita dapat memahami di mana posisi kita di tengah manusia lain dan alam kita, sehingga akhirnya melalui kesadaran ini kita dipaksa untuk membuat keputusan. Dari penalaran Sartre ini kita dapat menyimpulkan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi bebas dan sekaligus terpenjara. Manusia pada akhirnya hanya dapat menerima kondisi tersebut sembari memaknai keterbatasan.
Filosof eksistensialisme lain yang mengemukakan teori eksistensi, yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan krisis perempat usia ialah Emmanuel Levinas. Levinas pernah bertanya dalam salah satu karyanya, Totality and Infinity (1963), mengapa manusia dapat bertahan dengan hal yang tidak disukainya? Dalam buku tersebut Levinas berusaha menjawab bahwa manusia selalu memiliki kemampuan untuk menikmati sesuatu yang tidak berguna secara langsung baginya. Bahkan manusia dapat menerima sebuah proses yang tidak disukainya. Proses aktivitas memiliki keterpisahan makna dari hasil yang dituju. Bagi Levinas, manusia memiliki kemampuan untuk menikmati hal-hal tak bermakna karena kehendak dasarnya untuk tetap hidup.
Selanjutnya, salah seorang filosof eksistensialis perempuan ialah Simone de Beauvoir telah mempertenyakan ‘Bagaimana aku dapat menjadi seorang pribadi yang kukehendaki?’ dan ‘Apa kriteria dari perilaku yang etis?’. Dalam kehidupan saat ini kita akan mempertanyakan hal yang sama dengan Beauvoir, walau dengan frasa yang mungkin sedikit berbeda, misalnya ‘Bagaimana kita dapat menjadi diri sendiri?’ dan ‘Apa yang disebut sebagai tindakan baik?’ Untuk menjawab rasa ingin tahunya, Beauvoir berkaca dari sejarah hidupnya sendiri, serta teman dan sosok-sosok perempuan yang pernah ditemuinya. Selanjutnya Beauvoir dalam karyanya Phyrrhus and Cineas (1944) menggambarkan bahwa sebagai manusia, kita memiliki kuasa untuk mengubah keadaan, sekali pun keadaan itu akan selalu terbatasi oleh orang lain. Jika kita merasa bahwa banyak sisi dari kehidupan kita tidak berjalan sebagaimana yang kita kehendaki, maka setidaknya kita telah memiliki kesadaran atas keganjilan tersebut dan juga, memiliki kehendak untuk mengubahnya.
Salah seorang filosof lain yang menyajikan pertanyaan bagi krisis perempat usia ialah Albert Camus, yang melalui karya-karya sastranya selalu menggambarkan tokoh-tokoh yang menikmati kehidupan sehari-hari, hingga tiba waktunya bagi mereka untuk merasa bahwa keindahan hidup sudah tidak ada lagi. Hal ini terjadi karena kebahagiaan selalu berulang dan tidak menimbulkan perasaan yang baru bagi manusia. Dalam Mitos Sisifus (1942), Camus menggambarkan kondisi ini sebagai sebuah absurditas. Manusia ditakdirkan untuk bersedih, berusaha, berbahagia, dan siklus tersebut akan selamanya berulang.
Dari berbagai contoh di atas, dapat kita lihat bahwa semakin banyak kita menyadari kehidupan, semakin banyak pula beban jawaban dan keputusan yang harus kita tentukan. Dengan krisis paruh usia yang sudah pernah atau tengah terjadi pada diri kita, kita mampu memahami bahwa kesadaran kita telah aktif untuk mengenali dunia. Semakin banyak kegelisahan yang muncul, maka semakin peka seseorang terhadap dunianya. Krisis perempat usia bukanlah sebuah penyakit yang harus dihindari, karena semakin kita bertanya-tanya dan berani menghadapi krisis dengan baik, maka semakin pula kita menjadi dewasa atas segala tindakan, pun menjadi seorang filosof bagi diri kita sendiri. Fase krisis perempat usia tidak perlu ditakuti, ia hanya memerlukan pengelolaan emosi dan pertimbangan yang baik. Beberapa cara para filosof eksistensialis yang telah dijelaskan tadi dapat menjadi inspirasi kita untuk menghadapi krisis perempat usia misalnya: mempertahankan pertanyaan dan kegelisahan kita, merumuskan permasalahan dan memetakan kondisi, mengabadikan kegelisahan dan jawaban rasional kita dalam karya serta tindakan, serta bertahan di dalam tekanan sebagai bukti bahwa hidup selalu layak untuk dijalani.