Belajar Kolektif seperti Para Filosof
Salah satu bentuk dari proses belajar ialah pertemuan manusia dengan wajah-wajah yang Lain. Ibarat tenunan sutera yang menjalin benang-benang subtil pertemuan demi pertemuan akan mengukuhkan pemahaman manusia atas dunia dan subjek lain di sekitarnya. Demikian di antaranya tercatat, bahwa para filosof di abad ke-4 sebelum Masehi dan para filosof di abad ke -20 Masehi masih melakukan pencarian filosofis secara bersama-sama, utamanya di dalam wadah perguruan atau komunitas. Kesadaran manusia untuk melakukan pencarian atas kebijaksanaan membawanya pada pertemuan dengan kwana-kawan seperjalanan. Setidaknya tercatat pada beberapa abad sebelum masehi, bahwa masyarakat telah membenuk berbagai kelompok belajar dan berdiskusi hingga menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar mereka. Kelompok-kelompok ini selanjutnya menjadi simpul gerakan yang membangkitkan peradaban masyarakat di sekitarnya dan mewariskan bangunan-bangunan pengetahuan bagi para pewarisnya. Belajar bersama menjadi salah satu jalan para filosof klasik dan modern untuk memperkokoh konsepsi serta visi mereka atas dunia.
Di Yunani pada abad keempat sebelum Masehi, tersebutlah Sokrates, Aristophanes, Xenophon, Platon, serta beberapa filosof lainnya yang kerap mengadakan dialog di ruang-ruang terbuka. Sokrates merupakan sosok guru bagi masyarakat muda terpelajar kala itu, karena ia selalu mempertanyakan sebuah teka-teki permasalahan dalam kelompok kecilnya. Pertanyaan-pertanyaan Sokrates menimbulkan dialog yang mampu membantu kawan-kawan dialognya untuk memetakan simpul pengetahuan dan ketidaktahuan. Sokrates digambarkan sering berjalan-jalan di selasar kota atau bertandang ke rumah kerabat mudanya untuk membuka perdebatan dan memancing pemikiran kritis kawan-kawannya. Metode berfilsafat Sokrates tersebut dikenal hingga saat ini sebagai Maeutike. Selain itu tersebut Aristoteles, murid Plato yang telah menginisiasi Likeon atau Lyceum sebagai wadah lain bagi para warga Athena untuk berfilsafat. Perkumpulan ini dibangun oleh Aristoteles guna mewadahi keingintahuan para pemuda Athena atas hakikat diri manusia dan alam. Likeon berkembang menjadi institusi pendidikan informal sehingga banyak filosof serta ilmuwan berhasil melahirkan konsepsi filosofis baru seperti Dichearkus dengan demokrasi monarki aristokratiknya, serta Aristonexus dengan sistematisasi tipe musik dan interval dalam nada.
Sepeninggal Sokrates, muridnya yang bernama Platon meneruskan tradisi diskusi gurunya dan mendirikan kesatuan belajar yang disebut sebagai Akademia. Di dalam Akademia, berkumpul warga Athena yang ingin mendapatkan wawasan intelektual melalui forum-forum diskusi dan kelas-kelas umum yang dihantarkan oleh Plato. Terdapat beberapa kelompok intelektual lain yang terbangun pada masa tersebut, seperti kelompok Stoa yang diinisiasi oleh Zeno serta komunitas diskusi Epicurus yang dilaksanakan di kebun pribadinya.
Pada abad yang sama, Raja Xuan dari Kerajaan Qi (sekarang di Shandong) di timur laut dataran Tiongkok, mendirikan akademi Jixia di kota Linzi untuk mengumpulkan para pemuda dari berbagai kelas sosial yang berminat pada logika, moralitas, politik, dan hukum alam. Linzi pada masa itu merupakan ibu kota negara Qi yang maju dalam bidang perdagangan. Raja Xuan mengharapkan agar potensi negaranya tidak berkembang hanya pada sektor ekonomi sehingga ia berusaha mewadahi kemampuan intelektual warganya di Jixia.
Dengan berdirinya Jixia, kekaisaran Qi mampu mewariskan ribuan manuskrip yang berguna bagi perkembangan rakyat Cina dan dunia seperti karya-karya dari Zhuang Zi dan Mengzi. Selain itu Jixia juga melahirkan para pemikir legalis seperti Xunzi, Han Feizi, dan Li Si. Li Si merupakan pelajar yang dipromosikan oleh Lu Buwei (penyusun Lushin Chunqiu atau Almanak Filosofis Lu) kepada kaisar Yin Tjeng dari kerajaan Qin (Qin Shi Huang). Li Si juga merupakan perumus ihwal tulisan persatuan Cina pertama dan sosok yang melanjutkan usaha perumusan pemikiran legalis Han Feizi.
23 abad setelah lahirnya forum-forum selasar Sokrates, kebun Epicurus, hingga akademi Jixia, lahirlah kesadaran baru atas pentingnya melakukan pencarian filosofis secara bersama di Eropa Barat. Gerakan seperti Lingkar Wina dan Mazhab Frankfurt merupakan gerak kembali manusia modern untuk mengembangkan pandangan filosofis dalam satuan kelompok. Lingkar Wina merupakan perkumpulan para ilmuwan dan filosof yang berusaha mengembangkan warisan positifisme Auguste Comte. Kelompok ini diinisiasi oleh Moritz Schlick dan di dalamnya bergabung para filosof di antaranya Henri Poincare, Gottlob Frege, Ludwig Wittgenstein, dan Rudolf Carnap. Para anggota Lingkar Wina melakukan kajian secara periodik, berdiskusi bersama para ilmuan serta seniman, hingga melakukan penyususnan buku bersama.
Selain Lingkar Wina, terdapat sebuah lingkar belajar Neo Marxisme di Jerman yang dikenal sebagai Institute for Social Research atau Mazhab Frankfurt. Mazhab ini diinisiasi oleh beberapa pelajar filsafat dan didukung oleh pelajar sosialis bernama Carl Grunberg dan Felix Weil. Para anggota Mazhab Frankfurt melakukan kajian dan penelitian bersama mengenai psikoanalisa, marxisme, sosialisme, dan kritisisme. Di dalamnya tergabung nama-nama para punggawa filosof barat modern seperti Erich Fromm, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Jurgen Habermas, Theodor Adorno, dan Axel Honneth.
Berbagai perkumpulan epistemik tersebut terbentuk oleh dorongan yang sama, ialah ketidaktahuan dan kerinduan atas misteri serta hakikat kehidupan. Kelima kolektif filosof tersebut terbentuk dari tiap individu untuk belajar bersama dan mencapai pengetahuan di dalam kelompok kecil. Demikian perjalanan manusia lampau hingga kini untuk mendekati sinar kebijaksanaan, ialah bahwa manusia tidak dapat terlepas dari kebersamaannya dengan kawan sepelawatan.
Comments :