Dalam bisnis dan perilaku sehari-hari, tidak jarang dari sebagian orang memberikan target pada dirinya sendiri. Target tersebut dimaksudkan untuk menstimulus aktivitas agar dapat memperoleh hasil yang maksimal. Namun target tidak hanya dilakukan dalam pekerjaan. Dalam kegiatan belajar di perkuliahan, dalam proses berolah raga, saat berlatih musik, dan berbagai kegiatan lainnya, kita akan selalu memiliki titik akhir dari pencapaian kita, yang selanjutnya dikenal sebagai target.
Untuk menuju target, hal yang sering dibayangkan ialah titik akhir usaha, pencapaian keberhasilan, penemuan kepastian, atau pemanenan hasil. Namun pada beberapa kasus tertentu, dapat kita temukan kondisi di mana standar operasional dan standar etika dikesampingkan guna menuju keberhasilan.
Salah satu contoh pencapaian target yang tepat adalah dengan tidak terburu-buru dan mencoba berkawan dengan hembusan angin. Jika angin yang meniup layar perahu cukup kencang untuk membuat kemudi melaju, maka nahkoda yang akan bersauh tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu. Namun jika angin bertiup terlalu kencang, sekali pun mampu membuat ikatan antar layar terbentang, maka perlu nahkoda kita untuk bersikap kritis dan mencoba mempertanyakan: “Apakah angin tersebut tidak justru mampu mematahkan sauh perahu?”
Salah satu kisah dalam mencapaian target dapat kita pelajari melalui kisah pertemuan pertama Liu Bei dan Zhuge Liang. Liu Bei dari negeri Shu merupakan salah seorang anggota keluarga Liu yang mengkhawatirkan kondisi dinasti keluarganya, ialah dinasti Han. Karena perebutan kekuasaan yang kian meruncing antara kekuasaan Wei, Wu, dan Shu, para pendukung Liu Bei mengusulkan pada Liu untuk mengajak seorang pelajar dan ahli strategi terkemuka, Zhuge Liang untuk bergabung bersama mereka. Liu yang memahami pentingnya keberpihakan Zhuge Liang dalam peperangan tiga kerajaan ini berangkat menuju Puncak Naga Tidur, bersama-sama dengan adiknya, Guan Yu dan Zhang Fei. Sebagai seorang jendral perang sekaligus pimpinan dari negara Shu dan klan Han, Liu Bei sebenarnya memiliki kapasitas untuk mengundang Liang datang ke padanya. Namun Liu menganggap bahwa untuk keperluan penting dan hasil usaha yang tidak dapat ditentukan, maka sebaiknya ia tidak bertindak melalui perwakilan tangan.
Perjalanan ke Bukit Naga Tidur berakhir ketika ketiga saudara sampai di depan pondok jerami. Di sana seorang gadis kecil yang sedang membersihkan dahan-dahan kering sambil bernyanyi mengenai kemunduran politik di Nanyang. Liu berenti untuk bertanya pada gadis itu, siapa yang menciptakan lagu tersebut. Gadis itu lalu menjawab bahwa pencipta lagu yang ia senandungkan adalah Zhuge Liang, tuannya. Seketika tahulah Liu, Zhang Fei dan Guan Yu bahwa mereka telah tiba di kediaman Zhuge Liang. Namun cuaca yang cerah tidak membuat peruntungan mereka sesejuk akar di bawah pohon di musim gugur. Liu menanyakan kesediaan tuan si gadis kecil untuk menemuinya, namun gadis tersebut menyatakan bahwa Zhuge Liang tidak berada di rumah selama beberapa hari.
Ketiga saudara tersebut pulang dan kembali ke Xinye hingga telik sandi melaporkan bahwa Zhuge Liang telah kembali ke rumah. Pada musim salju tahun itu, Liu segera berangkat bersama dengan kedua adiknya, kembali menyusuri Bukit Naga Tidur menuju pondok jerami. Setibanya di kediaman Liang, pekerja yang berbeda keluar dan mengatakan bahwa tuannya telah pergi sehari sebelumnya. Mendengar berita tersebut Zhang Fei yang sulit meredam amarah menjadi marah. Ia segera mengajak kakak-kakaknya untuk pulang dan berjanji akan datang sendiri ke Bukit Naga Tidur untuk mengajak Zhuge Liang menghadap kakak Liu. Bahkan jika tidak bersedia, Zhuge Liang akan diikatnya dan dibawa secara paksa ke kota Xinye. Namun Liu Bei meminta pegawai penerima tamu tersebut untuk memberikan surat kepada Liang. Surat tersebut menyatakan kekaguman Liu terhadap Liang melalui kisah dan pujian para ahli strategi di dunia.
Ketiga saudara tersebut pulang dan memutuskan kembali ke Bukit Naga Tidur pada musim berikutnya. Pada musim semi, Liu, Zhang Fei, dan Guan Yu kembali berkuda ke Bukit Naga Tidur dan segera tiba pondok Zhuge Liang. Setibanya di sana, seorang pelayan mengatakan bahwa tuannya sedang beristirahat siang. Liu yang mendengarkan berita itu memilih untuk mencari tempat teduh dan menunggu Liang bangun. Namun kedua adik prajurit Liu merasa tersinggung dan marah. Liu yang memahami ketidaksabaran para adiknya menasihati mereka untuk memahami bahwa bertahan dalam barisan perang dan bersabar untuk menunggu sama-sama merupakan hal yang berat. Tidak lama, Liang bangun dan menyadari bahwa rombongan Liu Bei telah tiba.
Liang menyambut Liu sebagai pejabat tinggi yang berkunjung ke pondok sederhananya, namun Liu tetap menunjukkan rasa segan dan hormat pada pemikir berbakat tersebut. Tergerak oleh ketulusan Liu Bei, Zhuge Liang sepakat untuk membantu Liu untuk memenangkan peperangan. Keduanya selanjutnya menjadi rekanan, tuan dan pelayan, sekaligus saudara dalam memenangkan peperangan bagi dinasti Han.
Kisah ini sering disebut sebagai Tiga Kunjungan ke Pondok, salah satu kisah parsial dari berbagai kembangan kisah Sam Kok. Kisah ini tidak dapat dipastikan kebenaran historisnya, namun kerap digunakan dalam ajaran Konfusianisme sebagai pengantar untuk memahami makna usaha, proses, dan hasil. Dari kisah ini nampak bahwa Liu Bei memiliki target untuk mengajak Zhuge Liang bergabung dalam barisan perang dan pemerintahannya. Namun untuk mencapai target tersebut, seseorang tidak bisa melanggar prosedur apa lagi etiket dan etika yang berlaku.