Pemerintah menetapkan tanggal 9 Desember 2020 sebagai hari libur nasional. Penetapan libur nasional ini berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan serentak kepala daerah di seluruh Indonesia. Jauh sebelum hari pemungutan suara ini ditetapkan pemerintah juga telah membuat regulasi tentang waktu kampanye bagi para calon kepala daerah. Melalui kampanye ini visi dan misi para kandidat diperkenalkan kepada masyarakat sehingga menjadi panduan bagi masyarakat dalam memilih. Harapannya adalah pemilih menentukan pilihan mereka sesuai dengan gagasan-gagasan unggulan untuk membangun suatu daerah sehingga kesejahteraan lahir dan batin masyarakat dapat tercapai.
Tak bisa dipungkiri bahwa polarisasi para pemilih dalam memberi dukungan memberikan warna tersendiri bagi pesta demokrasi. Rakyat ‘terbelah’ dalam beberapa kubu untuk mendukung pasangan calon yang dijagokan. Partisipasi rakyat ini sungguh memberikan gambaran bahwa pemilu benar-benar menjadi pesta rakyat. Dalam riuh gemuruh dukungan rakyat ini narasi-narasi ciptakan untuk menggaet dukungan rakyat. Calon kepala daerah dan tim suksesnya berjibaku siang dan malam bekerja dengan segala media untuk ‘memasarkan’ sang calon. Pada level akar rumput pembicaraan dan diskusi masyarakat di ruang publik terarah pada keunggulan calon yang mereka usung.
Pascareformasi 1998, kehidupan demokrasi di Indonesia menemukan arah yang tepat. Rakyat terlibat aktif dalam pesta demokrasi melalui pemilihan langsung. Euforia demokrasi ini dirasakan oleh semua orang di segala penjuru RI baik melalui pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah. Ruang bagi aktualisasi demokrasipun semakin luas. Fenomena menarik yang patut dikaji dalam praktik demokrasi di Indonesia adalah dijadikannya dunia maya sebagai ruang public baru untuk berdiskusi, berdebat dan memperkenalkan program para calon kepala daerah bahkan kepala negara. Sesuai roh zamannya kini kampanye melalui dunia maya lebih efektif. Media sosial menjadi sarana kampannye baru untuk mempengaruhi calon pemilih. Dalam masa pandemic ketiga kegiatan berkumpul dan mobilisasi massa dilarang atau dibatasi, peran dunia maya terasa sangat urgen untuk menyampaikan visi dan misi calon serta menciptakan narasi untuk menggaet pemilih. Dalam tulisan singkat ini secara khusus kami melihat fenomena penggunaan media sosial seperti facebook, tweeter, istagram untuk melakukan kampanye.
Melalui akun media sosial seperti facebook, IG dan Tweeter yang dimiliki secara personal setiap orang bisa menciptakan narasi subjektif baik positif maupun negatif terhadap calon kepala daerah yang didukung atau ditentang. Menarik bahwa dalam media sosial yang dioperasikan secara personal ini setiap orang seolah-olah menjadi ahli dalam memberikan komentar berdasarkan pengetahuannya. Dalam hal ini gagasan Thom Nichols tentang matinya kepakaran (The Dead Of Expertise) mendapatkan konteks yang tepat. Bagi Nichols perkembangan teknologi khususnya smarthphone dan media sosial membuat orang bisa merasa diri paling tahu terhadap sebuah persoalan. Ia seolah-olah menjadi pakar dalam bidang tersebut. Perasaan ‘seolah-olah’ ini ditunjukan melalui aktifitas ‘share’ di media sosial. Kecepatan informasi yang didapat melalui dunia maya/digital dalam waktu sepersekian detik dibagikan kepada orang lain tanpa verifikasi terhadap informasi tersebut. Dampak dari hal ini adalah luasnya penyebaran hoax dan para pakar yang menggeluti bidangnya kehilangan wibawa.
Dalam dunia politik dan musim pilkada saat ini gejala penyebaran informasi seperti ini massif terjadi bahkan pendukung sebuah calon menciptakan akun robot atau akun palsu untuk menyebarkan narasi yang tujuannya mendiskreditkan calon lain. Perang narasipun terjadi bahkan menjurus kepada black campaign yang menyerang seorang calon secara personal. Saling klaim narasi membuat dunia maya penuh dengan cacian dan makian yang kontraproduktif dengan prinsip demokrasi. Dalam membela junjungannya -setiap orang secara pribadi atau berkelompok- selain meneruskan berita juga menyebarkan kampanye hitam yang berlindung dibalik fake account. Meski demikian masih ada netizen yang menggunakan real account media sosialnya dengan narasi persuasif tertentu. Gejala lima tahunan sekali ini dalam perspektif psikologi bisa dikategorikan sebagai Dunning-Kruger Effect. Dunning Kruger Effect adalah ilusi psikologis dari orang-orang yang berpengetahuan rendah dan berlogika buruk bahwa mereka adalah pakar/ahli (sekurang-kurangnya melalui statement yang dituliskan dan dibagikan melalui media sosial). Efek ini juga kerap berlindung di balik kekuatan kuasa yang dipegang seseorang. Seorang pemimpin misalnya kerap memberikan fatwa yang menyesatkan namun otoritas yang dipegangnya membuat argumennya terasa kuat dan mempengaruhi khalayak. Dunning-Kruger Effect ini membuat ruang publik tercemar oleh sampah-sampah berupa opini yang seharusnya dibersihkan. Pihak berwajib sejatinya bisa meninjau dan menegakkan hukum bagi orang yang masuk kategori ‘terpapar’ Dunning-Krugger Effect dan mencederai demokrasi melalui hate speech, hoax dan lain sebagainya melalui UU ITE. Penyebaran berita bohong dan menyesatkan ini bisa menjadi preseden buruk bagi praktik demokrasi di waktu-waktu mendatang.
Bagaimana untuk keluar dari situasi ini? Dalam hemat penulis akademisi adalah benteng terakhir bagi ruang publik yang sehat agar udaranya bisa dihirup oleh semua orang. Argument dari para akademisi adalah argument yang disertai data baik untuk mengkonfirmasi sebuah wacana atau untuk menegasi sebuah hoax. Data harus bersumber dari riset yang valid dan harus ditampilkan dengan bahasa yang sederhana sehingga pesannya tersampaikan. Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Semua orang harus terlibat dalam pesta demokrasi. Meski demikian aspek yang kurang diperhatikan dalam mengejar kekuasaan ini adalah etika. Dalam dunia yang semakin maju ini dunia maya sebagai ruang publik harus dijaga dengan baik melalui postingan yang tidak menjrus kepada upaya memecah belah persatuan dan hidup bersama. Pemilu justru diadakan untuk menjaga dan merawat kehidupan bersama (bonnum commune) bukan untuk merusaknya melalui black campaign.