Tak bisa ditampik, ketika memulai pembicaraan tentang Pahlawan, apa yang muncul di benak kita adalah perang, senjata, tentara dan semua yang berbau revolusi fisik. Mindset yang terbangun sejak lama, khususnya ketika panas-panasnya perang fisik, awal hingga jelang pertengahan abad 20 terbawa hingga dewasa ini. Tidak berlebihan, karena memang faktanya begitu, mereka yang angkat senjata membela bangsa dan negaranya atas nama nasionalisme ketika kelak gugur otomatis akan mendapat gelar pahlawan, tempat peristirahatan terakhir pun di Taman Makam Pahlawan, berikut rentetan gelar tanda jasa dari negara atas segala perjuangan dan pengorbanannya.

Lantas, bagaimana dengan konteks kekinian? Ketika sudah tak lagi ada perang fisik, bahkan perang dingin pun telah berakhir dengan kekuatan tunggal yang berkuasa di jagat raya ini, masihkah status pahlawan harus digapai oleh yang ‘angkat bedil (senjata.red)’ di medan tempur?. Bagaimana dengan sosok guru yang angkat pena memberikan cinta kasihnya untuk calon generasi penerus bangsa? Bagaimana pula dengan seorang buruh tani yang angkat cangkul menggali tanah-tanah garapan yang mungkin saja bukan tanah miliknya untuk memenuhi ketersediaan stok makanan pokok umat manusia? Lalu, bagaimana dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang angkat kaki dari negeri yang ia cintai untuk mengais pundi-pundi rupiah di negeri orang untuk kembali membawa devisa bagi negerinya? dan masih banyak lagi.

Pertanyaannya apakah mereka yang tak angkat bedil di medan pertempuan tak layak menghuni taman makam pahlawan? atau bila dianggap berlebihan, tak cukup layakkah disebut pahlawan bangsa? Bila negara tak sanggup ‘menggelarinya’, kesatuan kebangsaan secara kolektif memberi pengakuan itu. Bila saja masih terlalu berlebihan lagi, sudahkah negara ini memuliakan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan muncul dalam pikiran kritis pembaca (asumsi saya).

Kembali ke topik, to the point saja jangankan diberi pemuliaan layaknya seorang pahlawan, hidup mereka saja umumnya (masih) dibawah garis standar kesejahteraan nasional. Bolehlah negara mengklaim tingkat kesejahteraan guru meningkat dengan adanya sertifikasi guru dan sejenis, pertanyaan kritisnya guru yang mana? Bagaimana bagi mereka yang masih berstatus honorer bertahun-tahun atau mungkin sampai mati bergelar status itu, bagai fenomena gunung es, hanya dipucuk yang nampak.

Begitu pula buruh tani, ini nasib paling tragis. Dengan dalih pembangunan nasional dengan perluasan pabrik-pabrik milik pemodal besar, tanah-tanah garapan digusur, terlebih bagi yang tak punya tanah dan tak punya keahlian lain, akhirnya ya menambah daftar pengangguran. Hasil interaksi negara berkembang dengan negara maju membawa dampak terhadap nasib ‘wong cilik’ yang tak punya kuasa bahkan atas dirinya sendiri.

Lagi-lagi, nasib sang ‘pahlawan’ devisa, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tak semuanya beruntung seperti yang dikisahkan di desa-desa dan pinggiran kota. Kisah pilu mereka yang berbondong-bondong mengadu nasib di negeri orang tak selalu mulus, ada memang yang berhasil, ada yang membawa cerita duka bahkan pulang hanya tinggal nama.

Yang dapat dipahami, beragam kisah guru, kaum buruh tani, dan TKI juga sama besarnya memiliki jasa dalam membangun identitas nasional atas nama bangsa dan negara. Mereka memang tak angkat senjata di medan tempur, tidak bau mesiu, tidak selalu ‘bersimbah darah’, namun mereka tidak pernah menuntut disebut pahlawan, tidak menuntut mendapat pangkat dibahu mereka, termasuk tidak menuntut ketika gugur dimakamkan di ‘Taman Makam Pahlawan’, dan juga tidak akan meminta namanya diabadikan menjadi nama jalan.