Pada prinsipnya sejarah kelahiran Pancasila, terutama inspirasi pentingnya untuk memiliki pemersatu bangsa yang tercetus di masa pembuangan Bung Karno di Ende, Flores, adalah materi pokok yang akan disampaikan kepada masyarakat. Seluruh kisah pembuangan ini bersumber dari buku Kisah Pancasila yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017. Pembuangan yang dijalani oleh BK adalah akibat dari keberanian BK dalam mengkiritik penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selama empat tahun dari tahun 1934 -1938, BK menjalani masa pengasingannya di Ende. Dalam mengisi waktunya, BK membaca, berkebun, dan mengorganisir drama. Namun, ada satu rutinitas BK yang tercatat dalam sejarah, BK seringkali menghabiskan waktunya berjam-jam di bawah pohon sukun yang bercabang lima untuk merenungkan apa yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam ini?
Perenungan di Ende adalah bekal yang dibawa BK untuk diolah dan diajukan tujuh tahun kemudian pada sidang BPUPKI. Pada pidatonya di forum itu, tepatnya 1 Juni 1945, BK mengajukan lima prinsip dasar Pancasila: peri kebangsaan (persatuan bangsa dan nasionalisme), peri kemanusiaan (internasionalisme), asas mufakat (demokrasi), asas kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kelima prinsip dasar tersebut mendapatkan tepuk tangah meriah dari peserta sidang dan dirumuskan lebih matang lagi dalam Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan kelima sila dalam Pancasila yang kita hidupi hingga kini.
Lantas, apa arti Pancasila jika ingin dimengerti secara ringkas. Ada tiga, yaitu: Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang tidak dapat diganti dengan pandangan lainnya, kelima sila saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, dan Pancasila adalah jaminan kesetaraan bagi seluruh masyarakat bangsa Indonesia yang beragam.
Para pendiri bangsa dengan berbagai latar belakang agama, etnis, dan beragam aliran politik memiliki kesamaan visi yang sama dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka yang berdaulat. Pada era revolusi, meskipun agama-agama di Indonesia tidak menunjukkan peran secara institusional secara khusus namun nilai-nilai dalam agama itu mendasari pola perjuangan para pendiri bangsa. Hal ini tidak lepas dari konsep berfikir yang menjadikan nasionalisme selain sebagai proyek kerja bersama juga sebagai bentuk kesadaran. Merujuk pada pandangan Hans Kohn, bahwa nasionalisme merupakan sebuah kesadaran jika sebuah masyarakat adalah satu kesatuan. Kesadaran ini berupa kesadaran nasional bahwa sebuah masyarakat berada di tatanan negara yang sama. Kesadaran inilah yang akan memperkokoh kondisi sebuah bangsa. Jika kesadaran ini hilang, maka rapuhlah bangsa tersebut. Namun jika kesadaran ini kuat, negara akan menjadi digdaya.
Secara konseptual, nasionalisme merupakan gejala historis memiliki peranan urgent pada abad XX dalam proses nation-formation negara-negara nasional modern di Asia dan Afrika. Sebagai ideologi kebangsaan, nasionalisme terbentuk counter-ideology terhadap kolonialisme dan imperialisme yang sanggup menawarkan realitas tandingan serta menyajikan orientasi tujuan bagi gerakan politik yang berjuang untuk mewujudkan realitas substantif tersebut.
Menilik perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, kita bisa merujuk kutipan pidato Bung Karno, 1 Juni 1945. “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!“. Untuk itu bisa diambil benang merah bahwa nasionalisme Indonesia berakar dari berbagai macam latar belakang perbedaan, dan perbedaan itu menjadi embrio persatuan dengan menghargai perbedaan tersebut.
menjaga Pancasila adalah tugas kita bersama sebagai masyarakat Indonesia. Meskipun secara suku, agama, budaya dan latar belakang kita berbeda namun dalam kebhinekaan tersebut kita bersatu sebagai bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara.