Hampir setiap hari media massa di tanah air penuh dengan pemberitaan terkait skandal korupsi yang menjerat para pejabat publik. Menarik bahwa meski para koruptor telah dijatuhi hukuman sangat berat namun aktor/pelaku baru korupsi selalu saja bermunculan. Hukuman nampaknya tidak membuat jera tetapi malah membuat para pelaku/calon pelaku memikirkan cara-cara baru yang tidak mudah terdeteksi. Korupsi pun kini menjadi sebuah kejahatan terencana dan terorganisir yang dilakukan secara berjemaah. Korupsi tidak lagi hanya melibatkan orang-orang besar yang memiliki kekuasaan tertentu tetapi juga menyentuh semua orang dari segala golongan dan lapisan. Korupsi menjadi sebuah wabah atau penyakit yang bisa menjangkiti siapa saja dan dimana saja (institusi negara, perusahaan, dunia akademik/kampus, dll). Bisa dikatakan bahwa untuk konteks kita di Indonesia korupsi telah menjadi budaya sebab banyak orang telah tersangkut. Dikatakan demikian sebab setiap orang memiliki dalih dan alasan untuk membela diri meski telah terindikasi korupsi. Fakta ini sangat berbeda dengan sikap pejabat publik di Barat yang mengundurkan diri jika terindikasi korupsi. Lantas kita bisa bertanya apa sebenarnya yang terjadi dengan moralitas anak-anak bangsa?

Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sebuah penyakit yang kronis manakala hak untuk hidup dari warga negara lain dirampas oleh ketamakan segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat. Hal ini menyebabkan para koruptor hidup berkecukupan atau diuntungkan sementara sebagian orang hidup menderita. Oleh karena itu KKN disebut sebagai kejahatan. Bahkan para ahli berusaha merumuskan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dewasa ini kejahatan beroperasi karena adanya kesempatan. Seseorang yang kelihatannya ‘baik-baik saja’ tidak menjamin bahwa ia akan bebas dari kejahatan korupsi jika ia masuk dalam sebuah sistem yang korup. Seorang mahasiswa yang meneriakan “ganyang korupsi!!” tidak otomatis menjadi pejuang gigih melawan korupsi bahkan kenyataan membuktikan bahwa koruptor kakap negeri ini adalah aktivis mahasiswa yang dahulunya adalah pelopor gerakan reformasi.
Dalam sebuah sistem yang korup kejahatan menjadi sebuah tindakan yang tidak bisa lagi diidentifikasi sebagai kejahatan. Seseorang melakukan tindakan korupsi karena ia berkesempatan menjadi pemimpin serta sistem melanggengkan kejahatan sebagai ‘kebiasaan’. Dalam sebuah masyarakat yang melihat korupsi sebagai kebiasaan atau budaya disana sudah pasti ada kematian nurani. Kematian nurani membuat seseorang tidak merasa bersalah atas kejahatan yang dibuatnya.

Potret ini menggambarkan kerapuhan mental masyarakat Indonesia berhadapan dengan kejahatan korupsi yang meluas mulai dari pusat hingga daerah, dari urusan privat hingga urusan publik. Mental yang rapuh ini menjadikan seseorang terombang-ambing oleh suara massa. Larut dalam suasana atau euforia massa menjadikan seseorang tidak mempunyai komitmen untuk menolak korupsi. Alasan atau dalih yang membuat seseorang berani KKN dalam lautan massa ini adalah tidak mau keluar dari zona aman dan menjadi oposisi yang menentang korupsi. Menentang kebanyakan orang atau massa membuat seseorang dikucilkan, dipinggirkan atau bahkan memiliki banyak musuh. Situasi seperti ini membuat seseorang enggan untuk menjadi wakil dari pribadi-pribadi yang dirugikan karena korupsi.

Kerapuhan mental yang membuat orang melakukan korupsi biasanya diikuti dengan terkikisnya atau bahkan hilangnya semangat kejujuran. Dalam konteks ini kejujuran terarah pada upaya mengakui telah melakukan tindakan korupsi atau melaporkan setiap penemuan yang berindikasi KKN (whistle blower). Boleh jadi ketidakjujuran terkait dengan pendidikan Timur yang terarah pada upaya untuk ‘tidak menyakiti hati sesama’. Model pendidikan ini berbeda dengan model pendidikan Barat yang lebih mengajarkan orang untuk ‘tidak menipu’. Dengan kata lain seseorang enggan mengakui telah melakukan korupsi atau melaporkan koruptor karena takut kehilangan sahabat atau menyakiti hati sang sahabat. Sikap kompromistis seperti ini justru memperparah kerumitan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Akhirnya KKN menjadi benalu yang sulit diberantas dari Indonesia karena sistem hukum yang lemah. Institusi penegak hukum justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari korupsi. Pemberantasan korupsi akhirnya berjalan di tempat dan wibawa lembaga penegak hukum tidak dihargai samasekali. Hukuman yang ringan bagi para koruptor membuat orang tidak jera melalukan KKN. Sejatinya hukuman terhadap para koruptor harus lebih berat dan mengikat sebab korupsi dipicu oleh sebuah hasrat keserakahan dan ketamakan yang semestinya bisa diatur. Dengan kata lain manusia mestinya adalah mereka yang mampu mengatur hasratnya untuk menjadi kaya dan berkuasa secara instan dengan mengorbankan orang lain. Tindakan KKN yang mereka lakukan pada hakekatnya adalah perbuatan dengan ‘tahu’ dan ‘mau’ demi mengejar kenikmatan pribadi atau kelompok. Hukum yang tegas mesti menjadi benteng terakhir yang membuat orang takut melakukan korupsi.

Bangsa yang menjadikan korupsi sebagai ‘budaya’ adalah bangsa yang sakit dan tidak memiliki masa depan. Agar korupsi tidak menggurita dan merugikan bangsa maka generasi penerus perlu memiliki fondasi yang kuat dalam hal menolak korupsi. Tempat yang terbaik untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi adalah sekolah/kampus. Sebagai lembaga akademik kampus menjadi medan untuk mendidik generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap tanah air Indonesia. Salah satu wujud rasa nasionalisme itu adalah sikap anti atau menolak korupsi. Sikap menolak korupsi harus bergaung dalam diri setiap generasi muda. Pada level universitas pemberantasan korupsi dapat dikategorikan sebagai tindakan pencegahan. Dikatakan demikian sebab usaha yang dilakukan oleh universitas adalah menanamkan nilai-nilai yang diharapkan menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya korupsi. Dengan demikian upaya pemberantasan korupsi melalui pendidikan karakter harus menjadi kurikulum wajib dipendidikan tinggi.