Judul di atas merupakan potongan kisah dari apa yang akan saya ceritakan secara utuh mengenai sebuah kata yang saat ini sedang naik daun, “keberagaman”. Sebuah kata bermakna baik, yang terkadang mengandung nilai politis amat tinggi.

Bicara mengenai keberagaman, terus terang saja, orang pertama yang mengajarkan keberagaman adalah bapakku. Bapak adalah seorang guru Sekolah Menengah Pertama di sebuah desa lereng gunung bromo, selatan Kabupaten Pasuruan. Sebagai seorang guru, tentunya bapak bertemu siswa-siswi dengan berbagai latar belakang.

Beliau adalah seorang muslim yang taat, Islam yang diajarkan olehnya adalah Islam yang dinamis, yang mengajarkan arti toleransi dan cinta terhadap sesama. Itu dibuktikannya ketika bapak mengawali pekerjaan sebagai seorang guru, ia pernah mengajar di SMP/SMA Tri Dharma, Kabupaten Pasuruan, yang memiliki basis pendidikan Agama Tri Dharma (Buddha, Tao, Konghucu).

Bapak mengajarkan bagaimana bertoleransi, ketika perayaan hari besar keagamaan, bapak memberikan contoh bagaimana saling menghormati satu sama lain. Ketika imlek, bapak mengajak menuju klenteng milik sekolah, mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan mereka yang tidak seiman, begitu juga sebaliknya, ketika perayaan Idul Fitri rekan bapak yang beda iman dengan kami, selalu berkunjung ke rumah untuk menjalin hubungan baik tersebut.

Tak jauh berbeda, Ibu semakin mempertebal keyakinanku bahwa keberagaman itu adalah sebuah keindahan yang memang harus dipupuk sejak dini. Ibu juga seorang guru seperti bapak, hanya saja ia seorang guru swasta, yang untuk membantu menopang ekonomi keluarga harus mengajar di berbagai sekolah swasta, maklum saja gaji guru tak sebesar embel-embel gelarnya yang kata orang, pahlawan tanpa tanda jasa.

Di salah satu sekolah swasta tempat ibu mengajar,yakni SMP Advent Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Ia merupakn satu-satunya guru yang memakai hijab. Tentu saja ini hal yang aneh mengingat sekolah tempatnya mengabdi merupakan sekolah dengan latar belakang Nasrani.

Sekolah tempatnya mengajar mengijinkan Ibu untuk berhijab ketika mengajar, ia menjalin hubungan yang baik dengan sesama guru pengajar maupun dengan siswa-siswinya yang tentu saja tidak seiman dan berasal dari beragam daerah di Indonesia. Toleransi semacam ini yang jarang kutemukan.

Sama halnya dengan bapak, setiap perayaan hari besar keagamaan antara ibu dan rekan terlibat saling kunjung untuk menghormati satu sama lain. Bedanya dengan bapak, hubungan saling kunjung itu tidak hanya melibatkan antara ibu dan rekan kerjanya yang beda keyakinan, namun juga dengan siswa-siswi yang diajarnya.

Seminggu setelah lebaran atau ketika lebaran ketupat, biasanya mereka (siswa-siswi.red) berkunjung ke rumah, tidak hanya satu dua orang, bahkan satu asrama. Bisa dibayangkan, ruang tamu rumah kami yang tak sebesar ruang kelas mereka pasti penuh sesak. Ada canda tawa, ada cerita akan kerinduan kampung halaman ala anak rantau, dan pasti setiap penghujung acara, semua makanan pasti ludes, ya harap maklum ala anak asrama, ibu malah bahagia bila makanan-makanan yang disajikannya habis. Bagi ibu, kebahagiaan terbesar dan yang paling nyata adalah berbagi.

Apa yang diajarkan oleh bapak dan ibu di keluarga kami ini begitu mengakar bagiku dan adikku satu-satunya. Kami, oleh mereka berdua diajarkan bagaimana membangun sebuah toleransi. Apa yang sudah dicontohkan mereka berdua di luar juga diterapkan di dalam rumah. Bapak sangat demokratis, selalu memberikan waktu disela kesibukannya mengajar dan aktifitasnya sebagai pengurus organisasi keagamaan di kampungnya untuk berdiskusi dengan anak-anaknya. Tak jarang antara aku dan bapak yang seorang pengagum Gus Dur ini terlibat diskusi dan perdebatan sengit mengenai isu-isu terkini, tapi bapak meskipun lebih tahu dan paham tidak pernah memaksakan kehendaknya.

Begitu juga dengan ibu, ia tidak pernah memaksakan anaknya untuk menjadi seperti apa yang diinginkannya. Dua anak kesayangannya dibebaskan untuk menentukan masa depannya, asalkan pilihan yang mereka buat dapat dipertanggungjawabkan. Ini tercermin ketika aku dan adikku memilih pilihan jurusan ketika akan memasuki dunia perkuliahan. Di antara kami berdua tidak ada yang memilih menjadi guru seperti mereka, tapi bapak dan ibu tidak mempermasalahkannya, pesan mereka berdua adalah bagaimana kami dapat bertanggungjawab terhadap pilihan kami, dan memberi manfaat kepada banyak orang atas ilmu yang kami dapat.

Begitu yang diajarkan oleh orang tua kami, bagaimana memandang sebuah perbedaan, tak lantas perbedaan itu menjadi sebuah masalah dan menjadi jurang pemisah untuk tetap menjalin persaudaraan di antara sesama. Dari opini singkat ini saya hanya ingin menegaskan kepada semua pembaca, bahwa keberagaman itu dibangun dan dipupuk dari keluarga. Tidak akan berarti lebih upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga kemasyarakatan menyosialisasikan apa itu keberagaman tanpa berangkat dari elemen yang paling mendasar. Isu-isu anti toleransi yang kerap muncul utamanya ketika menjelang pemilu tidak akan manjur dalam merusak keberagaman di negeri ini, apabila pondasi yang telah terbangun, yakni keluarga mampu menjadi benteng dan filter terhadap munculnya sikap-sikap anti keberagaman tersebut.