Komnas HAM tahun 2020 menunjukan secara gamblang kepada publik dan warga negara Indonesia bahwa trend kasus pelanggaran hak dan kebebasan beragama setiap tahun selalu meningkat (https://www.komnasham.go.id/). Setiap tahun Komnas HAM menerima aduan masyarakat dengan jenis masalah yang bervariasi namun tidak semuanya diselesaikan dengan baik. Rilis informasi Komnas HAM ini persis diafirmasi oleh aneka peristiwa kekerasan berlatar agama yang kerap dialami oleh beberapa warga minoritas di tanah air. Di lain sisi kemunculan ormas bernapaskan agama seakan melegitimasi setiap tindakan yang diklaim sebagai upaya bela agama. Kuatnya desakan kelompok radikal agamis ini bahwa menjuruh kepada usulan untuk menggantikan ideologi Pancasila yang telah final dengan ideologi agama.

Pada level akar rumput ormas yang berlatarkan agama bahkan tidak tega melakukan penganiayaan dan penghilangan nyawa demi ‘membela agama’. Cara beragama seperti ini menjadi ironis karena mereka berupaya menemukan pembenarannya dalam kitab suci. Dengan kata lain bagi mereka setiap tindakan tersebut mengikuti apa yang telah tertulis dalam kitab suci agamanya. Gelagat dan cara beragama yang telah ditunjukan oleh orang-orang beragama ini telah menimbulkan sebuah trend baru. Agama sudah menjadi sarana penyalur kekerasan yang sejatinya justru kontraproduktif dengan tujuan agama yang membawa damai bagi semua makhluk. Tafsir yang salah terhadap kitab suci serta menutup diri untuk berkomunikasi dengan pemeluk agama lain membuat siemngat inklusif tidak bisa dicapai. Akibanya muncul para pemeluk yang bertingkah seperti robot dan skeptisisme dan napsu saling menghabisi pemeluk lain yang dinggap kafir semakin meningkat.

John D. Caputo mempunyai paradigma lain terhadap problem seperti ini (Caputo: 162-174). Ia mengajukan sebuah gagasan beragama dengan jalan: tanpa agama. Agama tanpa agama adalah sebuah cara beragama yang cocok bagi para pemeluk agama yang hidup di zaman modern ini. Caputo benar, bahwa beragama seharusnya tidak terikat oleh doktrin yang menyesatkan serta diukur dengan kadar lahiriah sejauh mana seseorang melaksanakan aneka praktik lahiriah dari agama. Atau dengan kata lain agama tanpa agama ialah agama cinta. Agama cinta tidak bisa didefinisikan, hanya bisa diresapi didalam hati disertai tindakan konkret yang berlandaskan cinta. Cinta sesungguhnya merupakan muara dari segala ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci masing-masing agama.

Agama bagi orang-orang yang hidup di zaman modern ini ialah “agama konkret” bukan terikat pada ajaran agama yang disalah tafsir. Maka kritikan kaum liberalis ialah sebuh kepekaan pada sebuah agama cinta yang memang sudah selayaknya dianut oleh semua pemeluk agama di Indonesia. Aspek religius merupakan elemen penting yang menjadi roda penggerak pembangunan bangsa Indonesia. Ini artinya ketika para pemeluk agama berlaku anarkis terhadap sesamanya maka pembangunan yang bertujuan menciptan manusia indonesia yang bermutu baik jiwa maupun raganya tidak bisa berajalan dengan efektif. Kita semua tentunya mengharapkan agar bangsa Indonesia dapat berkembang kearah yang lebih baik lagi. Ini hanya mungkin terjadi ketika aspek rohani (kehidupan beragama) dibenahi dengan baik.