Berjabat Tangan dengan “Broker” dan Cerita 200 Juta
Menjadi sukses secara finansial merupakan cita-cita para pelaku usaha. Apapun latar belakang yang membuat seseorang memutuskan menjadi pengusaha, baik karena memang keturunan keluarga pebisnis, merasa bergengsi menjadi juragan, atau alasan lainnya, bisnis selalu berujung tentang untung atau buntung. Salah seorang CEO sebuah perusahaan teknologi di Malang mengatakan bisnis harus berujung untung dan bisnis yang baik adalah yang tumbuh dari keuntungan.
Pertemuan saya dengan salah seorang pelaku usaha penggilingan padi besar di Malang Selatan berbuah informasi tentang fakta yang cukup mencengangkan. Bisnis beras adalah bisnis menyambung kehidupan, karena memperdagangkan makanan pokok. Namun sayangnya oleh oknum broker, bisnis sakral ini dirubah menjadi bisnis yang memberikan keuntungan pribadi berlebihan. Dikatakan berlebihan karena ada beberapa hal tidak etis yang dilakukan, cenderung merugikan pihak satu dan sangat menguntungkan pihak lainnya. Memang bisnis tentang mencari keuntungan, tetapi ada faktor penting yang juga perlu diperhatikan, faktor etika bisnis.
Menjadi dilema dan ironi, saat saya mendengar keluh kesah seorang pemilik penggilingan padi yang berjabat tangan menjalin kerja sama dengan oknum broker. Broker disini adalah oknum yang berada pada jalur rantai distribusi, mempengaruhi harga, dan tidak melakukan transaksi tunai. Singkat cerita, terdapat sebuah program dimana Negara memberikan bantuan berupa pangan kepada masyarakat kurang mampu, kelompok tersebut diberi nama KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Program tersebut dulunya bernama Raskin (beras untuk rakyat miskin) yang kini berubah nama menjadi BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai). Dalam penyaluran BPNT, Negara memberikan saldo kepada KPM yang kemudian ditukarkan dengan sembako. Dalam program sosial ini, muncul oknum-oknum broker, mereka yang memiliki relasi di hulu dan hilir sehingga berkesempatan menjadi pemasok untuk program BPNT.
Gambar 1. Pola Distribusi Pemasok Beras Pada Program BPNT
Sayangnya, beberapa broker adalah orang yang tidak bermodal. Broker hanya orang yang “kenal” dengan beberapa tim pelaksana BPNT. Demi menjadi pemasok program BPNT, broker sering mengaku memiliki tim produksi penggilingan padi yang mampu memproduksi puluhan ton per hari. Setelah mendapat kesempatan menjadi pemasok, broker mendatangi penggilingan padi dan memesan puluhan ton. Apakah langsung dibayar? Tentu tidak, lagi-lagi sangat disayangkan para pelaku usaha penggilingan padi juga percaya begitu saja kepada mereka. Ditunjukkan surat PO (Purchase Order) untuk program BPNT dan kebanyakan penggilingan padi langsung saja percaya memproduksi puluhan ton, lalu mengirimnya atas nama tengkulak.
Pembayarannya kapan? Setelah para KPM menukar saldo bantuannya, barulah agen penyalur resmi program BPNT membayar kepada broker, dan selanjutnya broker membayar penggilingan padi. Apakah perilaku broker tersebut etis? Bagi saya sangat tidak etis, karena broker tidak membayar uang muka untuk produksi ataupun penjamin akan dilakukan pembayaran secara utuh diwaktu yang telah dijanjikan. Pada kasus penggilingan padi yang saya temui, uang yang masih dibawa broker senilai hampir 200 juta. Tertahan sejak November 2019 hingga Juni 2020. Tanpa perlawanan, tanpa tuntutan karena tidak ada perjanjian kerjasama yang legal, hanya berlandaskan percaya kepada broker, dari sini banyak penggilingan padi yang gulung tikar karena modal produksi masih tertahan. Apakah model bisnis seperti ini masih layak ada?
Comments :