Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam organisasi bisnis adalah evaluasi kinerja keuangan. Kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemilik bisnis, tetapi juga oleh pihak luar seperti investor atau pihak pemberi pinjaman. Evaluasi dilakukan agar kesehatan keuangan usaha bisnis dapat terus dipantau. Laporan keuangan menjadi sumber evaluasi; dimana laporan tersebut dianalisis agar diperoleh gambaran mengenai kinerja usaha bisnis.

Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk menganalisis laporan keuangan adalah rasio keuangan. Secara umum, rasio keuangan merupakan perbandingan antara beberapa variabel finansial yang terdapat dalam laporan keuangan. Rasio keuangan dapat memberikan gambaran mengenai kinerja keuangan usaha bisnis di masa sekarang, masa lalu, bahkan di masa depan. Analisis dasar rasio keuangan terdiri dari tiga jenis, yaitu (a) trend analysis, dimana kinerja keuangan usaha bisnis dibandingkan dari waktu ke waktu; (b) cross-sectional analysis, yaitu membandingkan kinerja keuangan suatu usaha bisnis dengan usaha bisnis lainnya pada periode yang sama; dan (c) industry comparable analysis, dimana kinerja keuangan usaha bisnis dibandingkan dengan kinerja keuangan rata – rata semua usaha bisnis dalam industri yang sama serta pada periode yang sama.

Secara garis besar, rasio keuangan terdiri dari empat kelompok yaitu liquidity ratio, leverage ratio, profitability ratio, dan efficiency ratio. Liquidity ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan usaha bisnis dalam menghasilkan dan mendistribusikan kas. Rasio ini mengindikasikan kemampuan usaha bisnis untuk menutupi kewajiban jangka pendek pada saat jatuh tempo. Jika suatu usaha bisnis mampu memenuhi kewajiban jangka pendek saat jatuh tempo, maka usaha bisnis tersebut dikategorikan sebagai usaha bisnis yang likuid. Adapun jenis – jenis rasio yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah:

  1. Current ratio (rasio lancar); rasio ini membandingkan antara jumlah harta lancar dengan kewajiban lancar (kewajiban yang jatuh tempo kurang dari satu tahun). Jika jumlah harta lancar nilainya lebih tinggi dari kewajiban lancar, maka usaha bisnis tersebut dianggap likuid. Harta lancar yang dimiliki usaha bisnis jumlahnya cukup untuk menutupi kewajiban lancar.
  2. Quick ratio (rasio cepat); rasio ini menggambarkan kemampuan harta lancar yang paling likuid untuk menutupi kewajiban lancar. Persediaan harus dikurangi dari harta lancar agar dapat diketahui jumlah harta yang paling lancar untuk kemudian dibandingkan dengan kewajiban lancar. Persediaan dikurangi dari harta lancar karena persediaan merupakan kelompok harta lancar yang paling tidak likuid. Jika jumlah harta yang paling lancar jumlahnya lebih besar dari kewajiban lancar maka usaha bisnis tersebut dikategorikan likuid atau mampu menutupi kewajiban lancarnya dari hartanya yang paling lancar.
  3. Net working capital-to-total-asset ratio (rasio modal kerja terhadap aset total); rasio ini membandingkan besarnya modal kerja besih dengan aset total yang dimiliki usaha bisnis. Melalui rasio ini dapat diketahui besarnya persentase modal kerja bersih yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Jika nilai rasio ini semakin tinggi, maka usaha bisnis tersebut dipandang semakin likuid.

Kelompok rasio yang berikutnya adalah leverage ratio atau rasio solvabilitas. Rasio ini pada dasarnya berusaha mengukur kemampuan usaha bisnis memenuhi kewajiban jangka pendek dan jangka panjang. Lebih lanjut lagi, rasio ini dapat menunjukkan tingkat penggunaan hutang serta kemampuan usaha bisnis dalam melunasi hutang tersebut.

Bersambung ke bagian 2 ….

 

Sumber:

Chris Leach. (2018). Entrepreneurial Finance. 06. Cengage Learning. Boston. ISBN: 9781305968356.