pemberdayaan UMKM menggunakan teknologi informasi
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai andil yang cukup besar sebagai motor penggerak perekonomian di Indonesia. UMKM juga mempunyai ketahanan saat diterpa badai krisis moneter, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada saat krisis moneter 1997 – 1998 jumlah UMKM meningkat hingga mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 85 juta penduduk indonesia. Data yang diolah oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menunjukkan jumlah UMKM selalu meningkat dari 2012 hingga 2017, pada 2017 jumlah UMKM adalah 62,98 juta unit pelaku usaha. Apabila dibandingkan dengan usaha besar dengan jumlah 5.460 unit usaha maka UMKM mempunyai pangsa sekitar 99,99%. Dengan jumlah tersebut UMKM dapat menyerap 107 juta tenaga kerja dengan jumlah PDB Rp 7.704 Milyar sehingga pada 2017 UMKM menyokong 60% dari PDP Indonesia. [1]
Agar daya saing UMKM semakin meningkat, maka pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah mencanangkan UMKM Go Online. Hal ini sesuai dengan visi Kemkominfo dengan “Digital Energy of Asia”. Untuk mewujudkan hal tersebut Kemkominfo mencanangkan 100.000 UMKM Go Online, kemudian menggandeng salah satu e-commerce terbesar di Indonesia (Buka Lapak) untuk mengadakan pelatihan. Pelatihan yang dilakukan dengan roadshow menemui UMKM di beberapa kota dan kabupaten, kegiatan ini dilaksanakan dari Agustus 2017 hingga Desember 2019. Kemkominfo menargetkan akan ada 8 juta UMKM yang akan “Go Online”, sedangkan dari data yang dilansir Kemkominfo pada tahun 2017 telah ada 3,79 UMKM yang telah “Go Online”.[2][3]
Untuk membantu mewujudkan visi Kemkominfo dengan “Digital Energy of Asia”, pada penelitian ini akan fokus merancang micro server dengan biaya rendah dan dengan konsumsi energi yang rendah. Server ini akan dilengkapi dengan berbagai layanan yang dibutuhkan untuk UMKM, diantaranya : penyedia web server, mail exchange, penyimpan data lokal. Diharapkan satu buah micro server dapat melayani beberapa UMKM sehingga UMKM tidak tergantung kepada layanan yang disediakan oleh Kemkominfo.
Konfigurasi dari LETS akan memanfaatkan Raspberry Pi 3, atau Raspberry Pi 4. Pemilihan Raspberry Pi didasarkan pada harga SBC yang rendah apabila dibandingkan dengan harga server rak yang dapat mencapai puluhan juta untuk 1 buah server. Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa SBC mengkonsumsi daya yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan server. Kekurangan terbesar dari penggunaan SBC untuk micro server adalah terletak pada kecepatan prosesor yang lebih rendah serta kapasitas cache yang lebih kecil. Untuk menanggulangi hal tersebut maka micro server akan menggunakan SBC dalam arsitektur kluster.
Model | Prosesor | Konsumsi daya rata rata (W) | |
Individual | Kluster | ||
Raspberry Pi 3 Model B | 72 core @1.2GHz | 5,66 | 103,4 |
Raspberry Pi 3 Model B+ | 72 core @1.4GHz | 6,95 | 142,7 |
Odroid C2 | 72 core @1.5GHz | 5,07 | 82,3 |
Intel Xeon E5-2640 | 4 core @ 3.0 GHz | 29,4 | 99,4 |
Intel Xeon E5-2640 | 4 core @ 3.0 GHz | 28,3 | 106,1 |
Intel Xeon E5-2640 | 8 core @ 3.0 GHz | 38,1 | 140,4 |
Intel Xeon E5-2640 | 10 core @ 3.0 GHz | 42,6 | 151,8 |
Intel Xeon E5-2640 | 2 x 8 core @ 3.0 GHz | 98,4 | 423,9 |
Intel Xeon E5-2640 | 32 core @ 3.0 GHz | 53,3 | 238 |
Tabel 1. Perbandingan konsumsi listrik antara SBC dengan server [4][5]
Comments :