Nisrin Husna, S.I.Kom., M.I.Kom

Kita sepakat sejak WHO tetapkan Covid 19 sebagai pandemi global, otomatis pula kita memasuki era krisis dunia. Namun, sebetulnya krisis akibat pandemi bukan baru kali ini. Di era 1900an, Spanish flu juga sudah menggemparkan dunia, pun dengan serentetan pandemi berimbas krisis yang beberapa kali pernah terjadi hingga kita sampai di pandemi berimbas krisis kali ini. Seringkali kita memahami krisis adalah akhir segalanya , sebagai sebuah kekacauan dimana kita tidak bisa berbuat apapun, dimana kondisi itu hanya bisa membuat kita menunggu dan pasrah. Tapi ternyata sejarah mencatat ada beberapa pihak yang justru berhasil untuk tak sekedar bertahan, namun juga bangkit, bahkan tumbuh dari krisis. Menariknya adalah , perusahaan-perusahaan ini berhasil memanfaatkan krisis sebagai peluang kesuksesan :

ALIBABA GROUP

Alibaba didirikan tahun 1999 oleh 18 pendiri yang dipimpin oleh Jack Ma di sebuah apartemen kecil nan kumuh di Kota Tiongkok, bernama Apartemen Hangzhou. Situs web pertama yang diluncurkan adalah Alibaba.com, sebuah grosir daring berbahasa Inggris. Pada tahun yang sama, Alibaba juga meluncurkan pasar grosir domestik dan terus berkembang. Sampailah pada tahun 2003, Cina diserang oleh SARS yang menjangkit hingga 8000 masyarakat Cina termasuk beberapa pekerja Alibaba. Otomatis dengan adanya pekerja yang positif SARS maka kantor harus di-lockdown, semua karyawan dikarantina dan melakukan home quarantine. Kemudian siapakah yang menjalankan bisnis? Management kemudian menyampaikan untuk tidak terus larut dalam kegelisahan karna bagaimanapun hidup harus berlanjut dengan tetap bermata pencaharian. Maka management Alibaba kemudian merapkan sistem work from home (WFH).

Dalam masa ini, Alibaba justru kemudian membaca peluang dan berinovasi mencetuskan Taobao, sebuah situs berbelanja online dalam bahasa mandarin. Sebagai awal, Taobao muncul mengantarkan bahan makanan dari rumah ke rumah saat warga China sulit keluar tempat tinggalnya akibat lockdown. Itulah mengapa hingga kini , Alibaba memiliki acara yang disebut sebagai family date (Alibaba Day) di setiap tahunnya, hal tersebut karena barang- barang yang dijual pada saat itu diantar oleh keluarga, murid-murid Jack Ma, dari rumah ke rumah. Dan oleh karenanya Taobao justru kemudian hidup dan berkembang besar karena SARS. Laporan keuangan tahunan Alibaba pada 2015 mencatat, volume barang dagang bruto Taobao mencapai 1,59 triliun yuan atau USD223,9 miliar, dan bertumbuh menjadi 3,11 triliun yuan pada laporan keuangan 2019.

JD.com

JD.com didirikan pada tahun 1998 oleh Richard Liu Qiang. Ia memulai bisnis ini dengan menjadi distributor produk optik dengan nama Jingdong Century Trafing Co., Ltd. Bisnis dengan took offline ini dijalaninya dengan ketekunan serta kerja kerasnya terus berkembang dari waktu ke waktu. Hingga tahun 2003, Liu Qiang telah membuka 12 toko di Beijing, China. Namun nasib yang sama dengan Alibaba terjadi, di tahun 2003 ia juga harus menghadapi fenomena SARS. Rupanya, persis seperti Alibaba, Richard menyadari bahwa ia tidak dapat mengandalkan bisnis offline nya untuk bertahan, dan membaca peluang besar untuk mendirikan bisnis online dalam pemenuhan kebutuhan target marketnya. Pada Bulan Januari Tahun 2004, Liu memindahkan bisnisnya secara online dengan mendaftarkan diri dengan domain pertamanya  bernama JDlaser.com, lalu berganti menjadi 360buy.com di 2007, dan ditetapkan menjadi JD.com pada Maret 2013. Satu tahun kemudian, ia memutuskan untuk menutup seluruh toko offline-nya dan 100% menjalankan bisnis melalui platform bisnis online. Perkembangan platform tersebut terus menerus meningkat dengan valuasi pasar sekitar USD 67 miliar atau sekitar Rp913,7 triliun. pada tahun 2019.

ZOOM

Meningkatnya kebutuhan pasar akan online video conference menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh zoom untuk mendorong bisnisnya. Grafik menunjukkan pada awal 2020 bulan Januari, penggunaan zoom masih di angka 0,2%.  Perlahan saat mulai berjalan ke Bulan Februari, permintaan mulai meningkat, dan angkanya terus melejit pada Bulan Maret, setelah Covid 19  ditetapkan sebagai pandemic. Zoom kini menjadi platform telekonferensi yang popular dengan saham yang meroket hingga 250% tahun 2020 ini. Nilai saham Zoom saat ini mencapai 67,43 miliar dollar AS (Rp 956,8 triliun). Nilai pasar Zoom bahkan melampaui perusahaan hardware AMD yang punya nilai pasar 64 miliar dollar AS (Rp 908 triliun). Pada awal bulan Juni, Zoom melaporkan pendapatannya pada kuartal pertama 2020 naik 169 persen dari tahun lalu ke angka 328 juta dollar AS. Zoom mengklaim ada 256.400 perusahaan di mana lebih dari 10 karyawan dari perusahaan tersebut telah menggunakan Zoom sebagai media telekonferensi sehari-hari.

Dari perjalanan Alibaba Group, JD.Com, dan Zoom, bisa dilihat bahwa banyak instansi yang bisa berkembang justru ketika dihadapkan pada keterbatasan. Orang awam boleh melihat kondisi ini sebagai era tak berdaya, namun belajar dari tiga korporasi tersebut, kita tahu bahwa sebenarnya akan selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memutar balikkan keadaan menjadi bukannya bangkrut, namun justru bangkit ! (NH)