Degradasi moral yang terjadi pada remaja menjadi masalah bagi orang tua dan guru. Kasus-kasus yang pelakunya sebagian besar remaja menjadi salah satu bukti adanya degradasi moral. Hal itu berkebalikan dengan cita-cita Indonesia untuk mampu melaksanakan revolusi mental. Mereka telah mengalami kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan. Kemerosotan itu dapat dilihat dengan banyaknya remaja yang terjerat kasus kriminal seperti: penggunaan narkoba, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, pornografi, dan lain-lain. Hal itu tentu tidak bisa dipandang sebelah mata, guru dan orang tua sebagai orang-orang terdekat remaja turut andil dalam pembentukan nilai-nilai kemanusiaan pada diri mereka.

Sekolah yang merupakan rumah kedua bagi mereka tentu mempunyai tugas untuk mengajarkan nilai-nilai fundamental kemanusiaan dan akhlak mulia. Guru harus lebih sadar bahwa strategi selama ini tidak melulu tentang penyampaian informasi saja. Strategi yang dilakukan di sekolah hanya sampai ranah kognitif, belum sampai pada pengaktualisasian diri siswa secara utuh. Hal itu turut menjadi alasan moral siswa mengalami kemerosotan. Tuntutan sekolah agar mereka mendapat nilai bagus nyatanya membuat mereka mengabaikan nilai-nilai pendidikan yang sebenarnya, yaitu mencetak generasi muda yang unggul dan berkarakter. Mereka yang telah melewati sistem pendidikan selama ini, mulai dari pendidikan dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan pendidikan persekolahan, kurang memiliki pedoman perilaku dan nilai-nilai kehidupan yang memadai, serta kemampuan mengelola konflik dan kekacauan, sehinggaanak-anak muda dan remaja selalu menjadi korban konflik serta kekacauan (Budiningsih, 2010:4).

Pendidikan di sekolah berfungsi dalam pembentukan jiwa humanistis sehingga generasi pemuda terhindar dari berbagai kasus kekerasan. Guna menanamkan nilai humanistis, guru Bahasa Indonesia bisa mengajarkannya melalui sastra. Melalui sastra, mereka mampu memahami krisis sosial dan membuka sanubari mereka untuk lebih peka terhadap konflik sosial. Karya sastra bisa memberi motivasi kepada siswa untuk membangkitkan rasa kepedulian, cinta kasih, dan penghargaan kepada sesama manusia. Mereka akan banyak belajar nilai-nilai kehidupan dalam karya sastra yang bisa mereka aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sastra juga akan mendorong mereka untuk mengembangkan hubungan yang baik antar sesama manusia dan Tuhan. Yusuf (2008:218) menegaskan bahwa manusia dapat berkembang menjadi seorang yang berkepribadian mulia (shalih) atau berkepribadian buruk (dolim/fasik/munafik). Melalui karya sastra, diharapkan  generasi muda yang berakhlak mulia dengan peduli terhadap sesama manusia. penulis mengemukakan ide serta pengalaman indrawi melalui bahasa sebagai medianya. Melalui karya tersebut, pembaca akan dibawa ke dalam imajinasi pengarang. Oleh karena itu, pembaca bisa menafsirkan serta merefleksikan maksud pengarang dalam hubungannya dengan gejala sosial yang diangkat ke permukaan.

Bukan rahasia umum bahwa negara-negara barat, seperti Amerika, Eropa, dan Inggris mengajarkan sastra kepada siswanya guna membentuk mereka menjadi generasi yang humanistis. Di Indonesia pelajaran sastra layaknya anak tiri bahkan terbuang. Karya sastra Indonesia yang melegenda seperti karya Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam yang bahkan dipakai rujukan dalam pembelajaran sastra di Malaysia dan Singapura nyatanya belum mendapatkan tempat di negeri sendiri. Hal itu menjadi tugas bagi guru Bahasa Indonesia agar bisa memasukkan pendidikan sastra di dalam pembelajaran. Antilan Purba (2010:28) mengatakan bahwa sastra khususnya humaniora sangat berperan penting sebagai media dalam perntransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai kemanusiaan. Dalam hal itu, penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang paling berpengaruh adalah novel.

Novel merupakan salah satu karya yang sastra yang mampu menggambarkan ruang sosial lebih luas dan mendalam. Tema-tema yang diangkat berkutat pada fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Novel yang bertema kemanusiaan mampu membuka batin pembaca terhadap permasalahan sosial. Meski berupa fiksi, karya sastra berupa novel adalah luapan emosi penulisnya dengan memperhatikan etika dan estetika. Hal itu bisa dimanfaatkan dalam pengajaran sastra. Pengajaran sastra dalam dunia pendidikan bisa turut andil dalam melatih kepekaan siswa sekaligus sebagai sarana rekreatif. Melalui karya sastra yang bertema kemanusiaan, guru bisa membelajarkan nilai humanistis. Penulis yang mengangkat tema kemanusiaan salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Karyanya yang berjudul “Bumi Manusia” mengisahkan kehidupan masyarakat Indonesia setelah penjajahan Indonesia manakala masyarakat pribumi dipandang sebelah mata, sedangkan peradaban Eropa diagung-agungkan. Selain itu, terdapat seorang tokoh utama yang berdarah Jawa mulai terpengaruh dengan budaya Eropa. Pada novel “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, guru bisa menggunakan novel tersebut sebagai rujukan dalam pembelajaran sastra. Dengan menghadirkan novel “Bumi Manusia” diharapkan siswa mampu mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Pembahasan

Penanaman Nilai Humanistis Melalui Fiksi Berupa Novel

            Melalui karya sastra berupa novel, anak bisa mengolah batin dan rasanya sehingga anak secara tidak langsung menanmkan kebiasaan positif dalam kehidupannya. Melaui novel, mereka bisa menangkap pesan dari penulis sehingga fiksi berupa novel bisa menjadi sarana dalam pendidikan humanistis. Berdasarkan hal tersebut, novel bisa menjadi media untuk penanaman nilai moral kepada siswa. Menurut Djojosuroto (2006:81), meski moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh tersebut.

Novel yang mengangkat tema kemanusiaan dan dapat diteladani salah satunya adalah novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pada novel tersebut, penulis menggambarkan tokoh melalui konflik yang berujung pada pencarian akhlak sebagai seorang manusia. Pada novel tersebut juga adanya cerminan budaya Indonesia pada masa lampau ketika bangsa Eropa masih berkuasa di Indonesia. Hal itu bisa menjadi pembelajaran kepada siswa untuk menuntun mereka untuk menghargai Indonesia sampai titik darah penghabisan. Betapa nasionalisme harus dipertahankan meski budaya barat terus menerjang masuk dan mendarah daging dalam segala aspek kehidupan bangsa. Berdasarkan hal tersebut, novel sebagai pembentuk moral siswa dengan mempengaruhinya lewat media bahasa dalam karya sastra tersebut. Nilai-nilai yang luhur seperti nilai humanistis bisa diajarkan guru kepada siswa. Hal itu selaras dengan yang dikemukakan Budianta (2006:2) yang menyatakan bahwa sastra merupakan media komunikasi yang menyajikan keindahan dan memberikan makna terhadap kehidupan dan pemberian pelepasan ke dunia imajinasi.

 

Nilai Humanistis dalam Novel “Bumi Manusia” Karya Pramoedya Ananta Toer

Fenomena sosial menjadi hal yang ditonjolkan dalam novel Bumi Manusia. Fenomena sosial yang terjadi pada manusia akibat adanya interaksi dirinya dengan orang lain. Fenomena tersebut dapat dilihat dari cara manusia bergaul dalam lingkungan masyarakat. Fenomena yang juga diangkat dalam karya sastra adalah diri manusia dengan Tuhannya. Nurgiyantoro (1995:323) menyatakan bahwa kasusastraan dapat dibagi menjadi empat, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dengan alam sekitar, dan dengan dirinya sendir. Pada  novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, penulis mengajarkan nilai kemanusiaan yang menekankan kodrati manusia yang hakiki.

Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer bisa dijadikan rujukan dalam pembelajaran sastra. Hal itu karena pada novel tersebut terkandung nilai humanistis yang dapat dikaji serta diteladani oleh siswa baik dalam kehidupan berkeluarga, di lingkungan sekolah, dan di masyarakat. Nilai humanistis tersebut tampak pada penggalan-penggalan yang akan dibahas berikut ini. Penulis bisa mengemukakan nilai humanistis berdasarkan fenomena baik bahkan buruk sekalipun. Jika penulis mengangkat fenomena yang buruk, maka pembaca diharapkan tidak melakukan hal tersebut. Fenomena yang buruk, tetapi bisa dijadikan pelajaran untuk siswa dapat dilihat dari penggalan novel berikut ini.

“Selamat petang, Tuan Mellema!” dalam Belanda dan dengan nada yang

cukup sopan.

 Ia menggeram seperti seekor kucing. Pakaiannya yang tiada bersetrika itu longgar pada badannya. Rambutnya yang tak bersisir dan tipis itu menutup pelipis, kuping.

“Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!” dengusnya dalam Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga isinya.

Di belakangku terdengar deham Robert Mellema. Kemudian terdengar olehku Annelies menarik nafas sedan. Robert Suhhorf menggeserkan sepatu dan memberi tabik juga. Tapi raksasa di hadapanku itu tidak menggubris.

Kutipan tersebut merupakan pembelajaran nilai antarmanusia. Kutipan

tersebut merupakan bukti bahwa seseorang seharusnya menghormati orang lain dengan menjaga sikap dan lisannya. Apalagi yang datang adalah seorang tamu. Berdasarkan kutipan tersebut juga tampak bahwa bangsa Eropa saat itu memandang rendah seorang pribumi. Manusia diciptakan dengan hak dan kodrat yang sama. Hal meremehkan serta bertindak kasar seperti itu tidak pantas dilakukan. Pembaca disuguhkan percakapan yang sifatnya menghardik untuk mengajarkan kepada mereka bahwa sesama manusia harus saling meghormati baik lisan maupun perbuatan. Sifat rasis juga ditunjukkan dalam novel tersebut. Hal itu tampak pada kutipan berikut ini.

“Nasib tak bisa diandai, Minke. Begini jadinya diri sekarang. Kalah aku olehmu, Minke, seorang Pribumi saja—siswa H.B.S. Eh, apa guna bicara tentang sekolah?” ia diam sebentar, mengawasi aku dengan mata coklat kelereng. “Aku mau bertanya, bagaimana kau bisa tinggal di sini? Nampaknya senang pula? Karena ada Annelies?”

“Betul, Ron, karena ada adikmu. Juga karena dipinta.”

Ia mendeham dan kuperhatikan airmukanya.

“Kau punya keberatan barangkali” tanyaku.

“Kau suka pada adikku?” tanyanya balik.

“Betul.”

“Sayang sekali hanya Pribumi”

“Salah kalau hanya Pribumi?”

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa bangsa Eropa saat itu menganggap derajatnya lebih tinggi daripada masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi dipandang sebagai kasta yang rendah. Manusia dilahirkan dengan derajat yang sama sehingga memandang rendah oranglain adalah sifat tercela. Kedua kutipan yang telah dipaparkan adalah nilai antar sesama manusia.

Nilai kemanusiaan antarmanusia bisa tercermin dari hubungannya dengan keluarga atau teman. Kutipan berikut menunjukkan hubungan antarteman.

“Mengapa pucat?” tanya Annelies seperti sedang memberi ampun. “Pribumi juga baik,” katanya masih tertawa.

Pandang Robert Mellema sekarang tertuju pada adiknya, dan Annelise menantangnya dengan pandang terbuka. Sang Abang menghindari.

Permainan sandiwara apakah semua ini? Robert Surhoorf tak bicara sesuatu. Robert Mellema juga tidak. Apakah dua pemuda itu sedang bermain mata memaksa aku untuk minta maaf? Hanya karena aku tak punya nama keluarga dan Pribumi pula? Puh! Mengapa aku harus melakukannya! Tidak!

“Pribumi juga baik.” ulang Annelies bersungguh. “Ibuku juga Pribumi—Pribumi Jawa. Kau tamuku, Minke,” suaranya mengandung nada memerintah.

            Baru aku menghembuskan nafas lega.

            “Terimakasih.”

Nilai kemanusiaan juga bisa ditunjukkan dari hubungan manusia dengan Tuhannya. Penulis bisa menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya baik melalui dialog ataupun penggambaran penulis secara langsung. Berikut kutipan yang menunjukkan hubungan manusia dan Tuhannya.

“Tamuku Islam”, kata Annelise dalam Jawa pada pelayannya.

“Katakan di belakang sana, jangan sampai tercampur babi”. Kemudian

dengan cepatnya ia berpaling padaku dan bertanya, “Mengapa kau masih diam saja?”

“Mengagumi rumah ini,”kataku, “serba indah.”

“Betul-betul senang kau di sini?”

Kutipan tersebut menunjukkan adanya hubungan manusia dengan

Tuhannya melalui dialog antar tokoh. Dalam ajaran Islam, pemeluknya tidak diperbolehkan mengonsumsi babi. Pada kutipan tersebut, Annelise yang non muslim menghormati tamunya dengan tidak memberinya hidangan yang mengandung babi. Manusia memiliki sifat religius dalam menaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

Hal yang berhubungan dengan nilai juga dikemukakan Tarigan (1984:195) yang menyatakan bahwa terdapat empat nilai dalam karya sastra, yaitu (1) nilai hedonik, nilai yang memberikan hiburan secara langsung, (2) nilai artistik, nilai yang melahirkan suatu seni atau keterampilan seseorang dalam pekerjaan itu, (3) nilai etis moral religius, nilai yang memancarkan ajaran etika, moral, dan agama, dan (4) nilai praktis, nilai yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Pengajaran Nilai Humanistis Pada Siswa Melalui Novel Bumi Manusia

Sekolah menjadi rumah kedua bagi siswa hendaknya bisa menjadi jembatan bagi siswa untuk memahami serta  mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui pendidikan sastra yaitu novel, maka nilai-nilai humanistis dapat ditanamkan kepada siswa dengan harapan menjadi siswa yang berkakhlak muia. Strategi yang digunakan adalah dengan memasukkan pendidikan sastra ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui fiksi yaitu novel mereka diajarkan untuk peka terhadap fenomena sosial di dalamnya.

Guru Bahasa Indonesia terlebih dahulu harus mampu menginterpretasi nilai-nilai kemanusiaan dalam peserta didik. Dengan memahami individu, maka guru bisa menyusup ke dalam relung jiwa mereka melalui media sastra. Sastra yang mengandung nilai estetik sekaligus mengajarkan etika. Pada pembelajaran Bahasa Indonesia, nilai humanistis dapat mereka realisasikan dengan cara menghormati teman dalam memberikan pendapat, saling menolong, bertanggung jawab, menghargai pendapat teman yang lain. Hal tersebut dapat diajarkan dengan cara menghubungkannya dengan penggalan-penggalan cerita dalam novel Bumi Manusia yang mereka baca.

Penanaman nilai humanis pada siswa dapat dilakukan selama proses

pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung. Siswa akan diberi rangkuman per bab agar mereka tahu nilai-nilai humanis yang ada pada novel Bumi Manusia. Pada kegiatan tersebut, guru bisa mengamati toleransi, kesopanan, kesabaran, dan lain-lain yang dilakukan oleh siswa. Ketika guru memberi tugas, maka mereka juga bisa menerapkan nilai-nilai humanistis, yaitu dengan cara bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.

Penanaman nilai humanistis pada kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah kegiatan inti sebagai berikut, (1) guru menyampaikan tujuan pembelajaran sastra, (2) guru menyediakan rangkuman atau penggalan-penggalan kutipan yang ada pada novel yang sudah dipersiapkan guru sebelumnya dalam menemukan nilai-nilai humanistis, (3) siswa mencoba menelaah hasil rangkuman maupun kutipan guru pada masing-masing per bab, (4) siswa disuruh menginterpretasi nilai-nilai humanistis yang ada pada novel dengan kehidupan nyata, dan (5) guru memberikan penguatan dengan menekankan nilai humanistis yang terkandung pada novel. Hal itu sesuai dengan pendapat yang dikemuakan Adam (2015:131) yang menyatakan bahwa  inti pragmatisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut (1) peserta didik (siswa) adalah subyek yang memiliki pengalaman, (2) guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya, (3) Materi/kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses dari padamateri, (4) Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna, dan (5) kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. Melalui sastra, siswa bisa memperoleh pengalaman belajar yang berguna. Melalui novel, mereka bisa mempelajari nilai humanistis yang berusaha dikemukakan oleh pengarang kepada pembaca. Nilai humanistis tersebut akan masuk ke dalam sanubari mereka sehingga diharapkan akan membuat mereka menjadi siswa yang memiliki perbuatan terpuji.

Kendala Penanaman Nilai Humanis pada Fiksi dalam Pendidikan Sastra

Pelajaran Bahasa Indonesia memiliki jumlah pertemuan terbatas setiap

semesternya. Untuk itu, guru harus bisa menyiasati cara agar penanaman nilai humanistis dengan menggunakan media novel dapat berlangsung efektif dan efisien. Pada umumnya, terdapat dua kendala yang dialami guru dalam menanamkan nilai humanistis pada siswa.

Pertama, terkait jumlah pertemuan dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Jam pelajaran Bahasa Indonesia cukup terbatas sehingga pendidikan sastra yang ada di sekolah bisa dilakukan di luar jam pelajaran. Guru bisa membuka forum diskusi berkenaan dengan novel Bumi Manusia sehingga penanaman nilai humanistis bisa berjalan dengan maksimal tanpa terkendala waktu.

Kedua, jenis karya sastra. Karya sastra berupa novel Bumi Manusia termasuk salah satu jenis novel yang tidak bisa dibaca dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, guru bisa mengantisipasinya dengan memberikan rangkuman ataupun kutipan yang menunjukkan nilai-nilai humanistis. Sebenarnya pemahaman siswa tentang nilai humanistis lebih mendalam jika siswa membaca novel tersebut secara utuh. Guru bisa menugasi siswa untuk membaca per bab untuk kemudian didiskusikan pada forum diskusi mendatang. Hal itu bisa dilakukan sampai siswa menamatkan bab dalam novel tersebut. Setelah bab selesai, guru dan siswa bisa melakukan jejak pendapat terhadap isi novel. Guru dan siswa bisa mengutarakan nilai-nilai humanistis apa yang terkandung. Guru juga bisa menghubungkan cerita dalam novel dengan kehidupan masa kini.

Ketiga, minat siswa dalam membaca karya sastra. Tidak semua siswa suka membaca. Mereka menganggap membaca adalah pekerjaan menjemukan. Sebelum fokus ke penanaman nilai humanistis, maka guru harus bisa terlebih dahulu menumbuhkan minat siswa dalam membaca karya sastra. Jika siswa tertarik untuk membaca suatu karya, maka tugas guru tidak akan sulit. Pemahaman mereka terhadap isi bacaan bergantung pada minta mereka untuk menganalisis serta memahami maksud pengarang.

 

Penutup

Simpulan

            Sastra yang mengandung nilai estetik sekaligus etika bisa dijadikan alternatif dalam menumbuhkembangkan nilai humanistis pada siswa. Karya sastra berupa novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer bisa dijadikan sumber belajar. Novel tersebut sarat akan nilai humaistis, baik hubungan antarmanusia, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam, dan manusia dengan dirinya sendiri. Penananaman nilai humanistis pada siswa diharapkan dapat mencetak siswa menjadi generasi pemuda yang berakhlak mulia, baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhannya. Melalui novel, mereka belajar untuk menyarikan pelajaran humanistis yang berusaha disampaikan pengarang kepada pembaca. Akan tetapi, penanaman nilai humanistis dengan menggunakan media bahasa mengalami tiga kendala, yaitu (1) jumlah jam pelajaran Bahasa Indonesia yang terbatas, (2) jenis karya sastra, dan (3) minat baca siswa yang rendah. Guna mengatasi kendala tersebut, guru bisa menyusun siasat agar pendidikan humanistis melalui sastra bisa berjalan efektif dan efisien.

           

 

DAFTAR RUJUKAN:

Sumarlin, A. (2015). Pendidikan Humanis dalam Perspektif Islam (Konsep dan

Implementasinya dalam Proses Mengajar). Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 3(1), 128-144. Diakses dari http://www/journal.iaingorontalo.ac.id.

Budianta, M, Husen, I.S, dan Ibnu, W. (2008). Membaca Sastra. Jakarta:

Indonesia Tera.

Budiningsih, A. (2010). Dinamika Pendidikan. Majalah Ilmu Pendidikan,

02 Tahun XVII.

Djojosuroto, K. (2006). Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta:

Penerbit Pustaka.

Permata, K. A., Rasna, I.W., dan Nurjaya, I.G. 2014. Analisis

Nilai-nilai Kemanusiaan Novel “Bekisar Merah” Karya Ahmad Tohari dan Kesesuaiannya Sebagai Bahan Pembelajaran Sastra. E-jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2 (1). Diakses dari http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS/article/view/3268/2708.

Purba, A. (2010). Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Toer, P.A. (2005). Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara

Yusuf, S. dan Nurihsan. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.

Bandung: Remaja Rosdakarya.