Pelabuhan di awal perkembangannya, kondisi fisiknya sangat sederhana, nampak seperti dermaga alami yang terletak di teluk atau muara suangai. Terpenting, pelabuhan bisa berfungsi sebagai tempat berlabuh yang aman bagi kapal-kapal dan sebagai tempat tukar-menukar barang-barang komoditi antara daerah pedalaman (hinterland) dengan daerah-daerah di sekitarnya dan bahkan dengan daerah seberang (foreland). Sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan pelayaran dan perdagangan, pelabuhan-pelabuhan difasilitasi dengan berbagai sarana dan prasarana, antara lain dermaga, gudang, peralatan bongkar muat para pekerja atau buruh bongkar muat, manajemen atau pengelolaan pelabuhan dan lain sebagainya. Perkembangan Pelabuhan secara tidak langsung juga berdampak bagi perkembangan suatu kota dimana Pelabuhan itu berada dan sebaliknya.
Perkembangan Pelabuhan Semarang di masa kolonial diawali tahun 1697 ketika Pelabuhan Semarang mulai menggantikan kedudukan Jepara yang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pelabuhan ekspor produk-produk pertanian khususnya beras. Hal ini terjadi sejalan dengan dipindahkannya pusat kekuasaan VOC di Jawa yang semula berkedudukan di Jepara ke Semarang. Perpindahan pusat kekuasaan VOC dari benteng di Jepara ke benteng yang baru di Semarang itu terjadi pada tahun 1707. Sejak saat itu Semarang menjadi salah satu pusat kekuasaan VOC di Jawa disamping Batavia dan Jepara. Pada tahun 1917, orang-orang Belanda mulai mendirikan pemukiman di luar benteng Vijf Hoek, yaitu kearah selatan dengan menggeser perkampungan orang-orang Cina lebih ke selatan lagi, sehingga berada pada tepian jalur aliran sungai Semarang dan menjadi lebih strategis bagi aktivitas perdagangan. Daerah baru yang dikenal dengan Europeesche buurt (pemukiman Eropa) ini dalam perkembangannya menggeser fungsi militer kota benteng menjadi kota perdagangan.
Perkembangan lebih lanjut dari Kota Semarang sebagai kota Pelabuhan menjadi kota modern yang berdiri sendiri (menurut ukuran waktu itu) ditandai dengan dikeluarkannya ordonasi tanggal 21 Februari 1906. Dengan ordonasi itu Semarang yang semula hanya merupakan ibukota afdeling dan kabupaten dan karesidenan Semarang, berubah menjadi gemeente atau kota swapraja yang berdiri sendiri dan memiliki wilayah sendiri. Dengan kata lain di Kota Semarang muncul pemerintahan baru yaitu pemerintahan Eropa (Europeesch bestuur) yaitu stadsgemeente disamping terdapat karesidenan (di bawah residen) dan afdeling (dibawah asisten residen), sementara di bawahnya terdapat pemerintahan psribumi (Inlandsch bestuur) di bawah pimpinan bupati, wadana dan lurah yang khusus mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan penduduk pribumi.
Sebagai kota swapraja, pemerintah gemeente Semarang kemudian juga membangun berbagai sarana fisik sebagai fasilitas umum dan penunjang perkembangan ekonomi seperti persewaan tanah (erfpacht) (1911), perusahaan susu (1913), perusahaan air minum (1913, 1915), renovasi pasar-pasar di kota Semarang (1914) dan pasar Johar direnovasi lagi pada tahun 1920, penyediaan armada pemadam kebakaran (1918), pusat pemotongan hewan (1922), dinas kebersihan kota (1923), persewaan rumah (1925), perusahaan listrik ANIEM (Algemene Nederlandsch-Indisch Electriciteit Maatschappij) pada tahun 1909 dan lain sebagainya. Dalam pembentukan propinsi Jawa Tengah yang diatur dalam Perda S.227-1929 (tentang instelling van de Provincie Midden-Java) yang berlaku mulai 1 Januari 1930, kota Semarang juga menjadi ibukota propinsi Jawa Tengah.
Pelabuhan Semarang sendiri yang berawal dari pelabuhan muara dari Kali Lama atau Kali Semarang pada akhir pertengahan abad ke 19 mengalami beberapakali perbaikan. Pada 1854 dibangun pelabuhan kanal yang dikemudian hari dikenal Nieuw Havenkanaal, atau dikenal dengan sebutan Kalibaru. Pembangunan ini sehubungan dengan semakin besarnya volume perdagangan melalui pelabuhan Semarang. Pada awal abad ke 20, tepatnya tahun 1904 dibuat rencana pembangunan pelabuhan baru yang letaknya di timur pelabuhan kanal Kalibaru, pembangunan ini untuk memperluas pelabuhan yang sudah ada (Kalibaru), mulai dikerjakan pada tahun 1910, sebagai kelengkapan pembangunan pelabuhan ini turut dibangun bagian penunjang, yakni gudang yang terbuat dari kayu dan besi. Selanjutnya pada 1920 juga dilakukan pembuatan atau pengerukan kanal baru yang dikenal dengan nama Kanal Timur (Oost Kanaal) yang letaknya pada tanggul bagian timur dari pelabuhan baru. Keseleruhan pembangunan pelabuhan perahu dengan segala infrastrukturnya ini selesai pada tahun 1924. Di sisi lain, sebelumnya pada tahun 1917 sempat diusulkan pembangunan pelabuhan samudera Semarang seiring dengan meningkatnya laju pelayaran dan perdagangan, namun dalam berjalannya waktu rencana ini tidak terlaksana karena berbagai pertimbangan.
Pada awal abad ke 20 atau setidaknya sampai dengan sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1930, peranan pelabuhan Semarang menjadi semakin penting sejalan dengan meningkatnya pelayaran dan perdagangan ekspor-impor melalui pelabuhan itu. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi ini berkembang pula sektor perdagangan, industri manufaktur dan jasa, tetapi pada sisi lain menjadi daya tarik utama bagi pergerakan penduduk tani dari desa-desa di sekitarnya untuk mencari pekerjaan atau nafkah di kota (urbanisasi). Sebagai dampaknya adalah semakin meningkatnya pertumbuhan masyarakat buruh di kota Semarang dengan berbagai diferensiasi kerjanya. Namun situasi berbeda terjadi sejak krisis ekonomi dunia tahun 1930 dimana aktivitas perdagangan ekspor-impor mengalami penurunan dan belum kembali pulih sampai berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari kondisi fisik pelabuhan Semarang yang bisa disinggahi kapal-kapal dengan tonase maksimal 500 ton, di pelabuhan itu terdapat 3 jenis atau golongan besar dari buruh pelabuhan, dan diferensiasi itu terutama didasarkan atas pembagian tugas atau jenis pekerjaan mereka. Yang pertama adalah para buruh yang bekerja di darat (dalam hal ini adalah di dermaga pelabuhan) yang lazim disebut kuli darat. Yang kedua adalah para buruh atau kuli yang bekerja pada kapal-kapal di laut dengan tugas melakukan bongkar muat dari kapal-kapal besar ke perahu-perahu tongkang dan sebaliknya. Terakhir atau ketiga adalah buruh yang bekerja di perahu-perahu tongkang atau lazim disebut dengan istilah kuli tongkang.

Pemogokan Buruh Pelabuhan Semarang pada Zaman Kolonial Belanda
Pada awal perkembangannya organisasi-organisasi buruh di Semarang mulanya bersifat kerakyatan dengan tujuan populis yaitu memperbaiki harkat, martabat dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau para anggotanya. Perkembangan selanjutnya serikat-serikat buruh di berbagai sektor ini menjadi radikal, sebagai akibat pengaruh dan keterlibatan gerakan dan tokoh-tokoh politik, lebih-lebih yang beraliran sosialis dan komunis. Sebagaimana kota Semarang dalam sejarah politik Indonesia masa kolonial dikenal sebagai kota merah atau kota dengan basis massa kekuatan komunis. Kota ini menjadi tempat didirikannya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang erat kaitannya dengan dua tokoh sentralnya, Semaoen dan Darsono yang sebelumnya adalah tokoh Sarekat Islam (SI) cabang Semarang.
Perubahan sikap organisasi buruh itu karena adanya intervensi tokoh-tokoh politik terutama yang beraliran sosialis dan komunis. Sebagian dari serikat-serikat buruh yang telah berdiri kemudian bergabung atau menjadi underbouw organisasi politik, sementara sebagian lain memang didirikan dan dipimpin oleh para aktivis politik. Sebagai contoh yaitu Havenarbeidersbond (HAB) yang didirikan tahun 1919 adalah dibawah kepemimpinan tokoh komunis muda yaitu Semaoen. Untuk lebih menunjukkan jatidirinya sebagai serikat buruh pribumi, nama HAB kemudian dirubah menjadi Serikat Laut dan Gudang (Serilagu). Sementara itu pendirian Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL) yang merupakan serikat dari para buruh di pelabuhan-pelabuhan penting ti seluruh Hindia Belanda, disamping mengacu kepada pendiran SPLI (Serikat Pegawai Laut India) yang didirikan di Rotterdam, Belanda oleh seorang tokoh komunis Semaoen, memang dibidani oleh tokoh-tokoh komunis di Hindia Belanda.
Pemogokan buruh pelabuhan Semarang pada tahun 1918 yang hanya dilakukan oleh para buruh tongkang merupakan bukti bahwa buruh tongkang memang memiliki karakter sebagai buruh elit dan terampil serta memiliki posisi tawar yang kuat, sehingga tidak takut untuk melakukan aksi mogok walaupun tidak digerakkan oleh serikat. Meskipun pemogokan itu tidak berhasil, paling tidak telah memberi pelajaran kepada pihak majikan/manajemen SSPV (Semarangsche Stoomboot en Prauwenveer) bahwa aksi pemogokan itu bisa menimbulkan akibat yang sangat serius. Dalam menghadapi pemogokan ini pihak majikan dan pemerintah bersikap kompromis tidak represif, namun sikap ini berubah ketika terjadi pemogokan buruh pelabuhan pada tahun 1925.
Faktor utama penyebab terjadinya aksi mogok adalah permasalahan intern para buruh, yaitu gaji buruh tongkang yang kurang memadai. Artinya bahwa penghasilan mereka sebagai buruh tongkang diperkirakan kurang mencukupi sebagai kebutuhan hidup keluarganya. Apalagi manajelen SSPV pernah menurunkan upah buruh tongkang sebesar 7,50 gulden (dari 30 gulden menjadi 22,50 gulden) pada tahun 1922. Oleh karena itu dapat dimengerti jika aksi pemogokan buruh meletus atas inisiatif para buruh tongkang sendiri. Namun demikian dalam waktu yang sangat cepat aksi itu dikendalikan oleh serikat yaitu SSPL, sehingga menjadi lebih terorganisir dan sulit dipatahkan.
Keterlibatan para kader atau tokoh komunis dalam pemogokan menjadi penyebab utama pemerintah kolonial bersikap represif terhadap para pemogok, bahkan bisa dikatakan bahwa usaha mengatasi pemogokan itu merupakan bagian usaha menumpas gerakan komunis Hindia Belanda. Lebih-lebih setelah terjadinya pemberontakan PKI 1926/27, gubernemen dengan giat melakukan serikat-serikat buruh dari pengaruh komunis. Sejak saat itu serikat buruh pelabuhan dan serikat-serikat buruh lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung berada dibawah pengaruh atau berafiliasi dengan PKI menjadi lumpuh. Sementara serikat buruh yang masih ada dan yang bermunculan sesudah itu berusaha menghindar dari keterlibatan mereka dari urusan politik atau intervensi dari organisasi-organisasi massa dan partai-partai politik. Sebagai tujuan utamanya difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan perbaikan persyaratan kerja bagi para anggotanya.

Gerakan Buruh di Masa Pendudukan Jepang hingga Masa Revolusi
Pada masa pendudukan Jepang, pelabuhan Semarang lebih banyak difungsikan untuk tujuan-tujuan militer. Aktifitas perdagangan dan pelayaran berjalan stagnan. Kebijakan pemerintah Jepang yang militeristik, khusunya mengenai keterkaitan dengan pelabuhan Semarang sebagai pelabuhan komersil adalah lumpuhnya serikat-serikat buruh atau partai-partai politik dan terhentinya perdagangan internasional atau ekspor dan impor melalui pelabuhan Semarang.
Mengenai serikat-serikat buruh yang dibubarkan, kebijakan itu memang sengaja diambil pemerintah Jepang dengan alasan karena partai-partai politik dan serikat-serikat buruh yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda dianggap sama sekali tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kebijaksanaan dan tujuan pemerintah pendudukan Jepang. Pengecualian bagi organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang pendiriannya dianjurkan dan disponsori Jepang dan yang bisa dipergunakan atau dimanfaatkan baik secara tidak langsung maupun secara langsung guna usaha-usaha perang.
Terkait hancurnya perdagangan internasional karena pemerintah militer Jepang telah mensita semua sarana dan prasarana pelabuhan Semarang, semua perusahaan pelayaran dan perdagangan internasional milik orang-orang Eropa/Belanda dan juga Cina, termasuk perusahaan angkut milik SSPV, dan dipergunakan untuk mendukung kepentingan militer Jepang. Disamping itu, kondisi pelabuhan banyak yang tidak terawat dan mengalami kerusakan cukup parah. Sebagian buruh pelabuhan yang masih dipekerjakan adalah buruh darat yang melakukan bongkar muat di dermaga, sementara para buruh tongkang tidak dipekerjakan atau tidak dibutuhkan lagi karena berhentinya aktivitas pelayaran dan perdagangan internasional melalui pelabuhan Semarang, yang berarti berhentinya aktivitas angkutan bandar.
Di antara para pemimpin serikat buruh ada yang mempunyai keyakinan bahwa akhirnya sekutu akan memenangkan perang, sehingga tentara Jepang akan segera meninggalkan Indonesia, dan pada gilirannya bangsa Indonesia akan segera memperoleh kemerdekaan. Banyak di antara mereka itu melakukan gerakan bawah tanah khususnya di bawah pimpinan orang-orang sosialis, komunis, dan sebagian kecil saja dipimpin oleh kelompok nasionalis. Mereka ini menolak bekerja sama dengan Jepang, tetapi sebaliknya mereka melakukan kampanye propaganda ilegal dengan menyebarluaskan isu kepada rakyat bahwa usaha-usaha perang Jepang tidak akan memberikan harapan baru karena demokrasi akan dibungkam fasisme. Bagi serikat-serikat buruh yang berjuang di bawah kelompom-kelompok nasionalis, yang dalam hal ini dipelopori oleh Sukarno-Hatta, lebih suka bergabung dengan pemerintah pendudukan guna mempersiapkan kemerdekaan menurut pola atau yang dijanjikan Jepang.
Ketika Belanda kembali menguasai kota Semarang sejak diserahkan oleh Sekutu pada tanggal 16 Mei 1946 organisasi serikat buruh pelabuhan mendapat kesempatan untuk tampil kembali. Diperkirakan sikap permisif pemerintah pendudukan Belanda terhadap munculnya 2 serikat buruh di pelabuhan yaitu GBP (Gabungan Buruh Pelabuhan) yang bersikap netral dan SBPP (Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran) yang berafiliasi dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), adalah disebabkan oleh kebutuhan mendesak atas tenaga buruh dalam rangka memulihkan kembali pelabuhan Semarang menjadi pelabuhan komersial seperti sebelum pendudukan Jepang. Disamping itu Belanda juga sangat disibukkan untuk berkosentrasi menghadapi perlawanan bersenjata para pejuang Republik.
Mengenai gerakan buruh di Semarang pada masa Revolusi tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan dinamika Revolusi dan gerakan buruh yang ada di Jakarta. Berdasarkan Maklumat Presiden No. 1 tahun 1947 yang merupakan implementasi Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 mengenai komposisi KNIP, sebanyak 40 tokoh atau pemimpin-pemimpin serikat buruh telah diangkat menjadi anggota parlemen sementara (KNIP). Berdasarkan maklumat tersebut dapat diartikan bahwa pemerintah republik menganggap gerakan serikat-serikat buruh di Indonesia pada waktu itu secara politis memang diperlukan. Lebih-lebih jika mengingat kondisi politik dan keamanan pada waktu itu belum stabil. Dalam keadaan demikian berbagai organisasi massa, termasuk serikat-serikat buruh dapat diharapkan bisa memberi dukungan politik yang sangat berarti bagi pemerintah, jika perlu anggotanya bisa dimobilisasi sebagai kekuatan bersenjata.
Mengenai pemogokan buruh di Pelabuhan Semarang pada masa revolusi, pertama-tama telah terjadi pada akhir tahun 1947. Aksi itu dilakukan oleh para buruh perahu tongkang yang bekerja pada SSPV.Sebagian dari mereka adalah yang pernah bekerja sejak sebelum pendudukan Jepang dan direkrut kembali SSPV, dan sebagian yang lain adalah buruh baru yang direkrut sesudah perang. Penyebab utama pemogokan pada tahun itu karena buruh menolak melaksanakan kerja lembur yang memang sangat dibutuhkan oleh perusahaan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara majikan dengan buruh yang tergabung dalam Gabungan Buruh Pelabuhan (GBP).

Perkembangan Politik dan Gerakan Buruh di Masa Republik
Sejak awal tahun 1950 hingga tahun 1957 konflik perburuhan di pelabuhan Semarang selalu terjadi setiap tahunnya dan menjadi permasalahan yang endemik. Masih terjadi pemahaman yang berbeda antara manajemen SSPV dengan buruh tongkang mengenai kerja lembur. Namun demikian setelah dicapai kesepakatan mengenai hal itu, demikian juga untuk beberapa tuntutan buruh yang lain, konflik itu ternyata belum bisa teratasi. Pasalnya para pengusaha dengan tegas menolak tuntutan yang dianggap bermotif politik yaitu profitsharing.
Berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 16 tahun 1951, pengertian buruh secara yuridis pada waktu itu adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah , sedangkan majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Selanjutnya yang dimaksud perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perserikatan majikan dengan perserikatan buruh atau sejumlah buruh berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja dan/atau keadaan perburuhan. Sementara itu menurut pengertian yang bernuansa politis pada masa Orde Lama, bahwa buruh dan tani itu sebagai “soko guru” (tiang utama) revolusi.
Pada tahun 1950-an secara umum buruh pelabuhan dikategorikan dalam lingkungan perburuhan maritim sehubungan dengan pekerjaan mereka yang berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan di pelabuhan. Mengenai buruh yang ada di pelabuhan Semarang, seperti zaman kolonial Belanda masih tetap dibedakan menjadi tiga jenis buruh berdasarkan tempat dan bidang pekerjaannya yaitu buruh perahu tongkang, buruh atau kuli darat (yang bekerja di dermaga pelabuhan), dan yang ketiga adalah buruh kapal. Pembagian buruh menurut bidang dan tempat kerjanya itu disebabkan oleh kondisi fisik pelabuhan Semarang yang relatif tidak berubah. Namun demikian sesuai dengan pemaknaan baru tahun 1950-an mengenai buruh pelabuhan, maka ketiga jenis buruh di pelabuhan Semarang itu, tidak terkecuali para buruh perahu tongkang harus dikategorikan sebagai buruh maritim darat, sedangkan menurut status pekerjaannya bisa dikategorikan sebagai buruh dari golongan perusahaan swasta maritim.
Pada masa Republik, aksi-aksi buruh pelabuhan diorganisir oleh dua serikat buruh pelabuhan yang saling bersaing untuk merebut pengaruh yaitu GBP dan SBPP. Untuk yang disebut pertama adalah serikat yang bersikap netral dalam arti tidak berfihak atau berafiliasi dengan partai politik tertentu. Namun demikian GBP dipimpin oleh seorang pengusaha bongkar muat pribumi, yang tentu saja juga mempunyai motif ekonomi dalam memimpin dan menggerakkan aksi-aksi buruh pelabuhan. Sebaliknya SBPP yang berafiliasi dengan SOBSI, meskipun secara organisatoris bukan bukan merupakan organisasi massa atau underbouw PKI, akan tetapi dalam aksi-aksinya dikendalikan oleh orang-orang PKI sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Dalam persaingan itu pemenangnya adalah SBPP. Sebagai salah satu penyebab utamanya karena pemimpin GBP telah menyalahgunakan serikat yang dipimpinnya untuk kepentingan perusahaannya. Disamping itu ia dituduh telah menyalahgunakan uang organisasi (serikat) sehingga disingkirkan oleh para anggotanya dari kedudukannya sebagai ketua GBP.
Sebagai akibat langsung dari aksi-aksi buruh pelabuhan adalah sangat terganggunya aktivitas pelayaran dan perdagangan, sehingga bongkar muat komoditi ekspor-impor yang dibawa oleh kapal-kapal yang besar (samudra) terpaksa harus dilakukan di pelabuhan Surabaya, dengan konsekwensi biaya operasional yang lebih besar. Artinya pelayaran dan peradagangan internasional melalui pelabuhan Semarang sangat terganggu.
Perjuangan para buruh pelabuhan yang berlangsung dari tahun ke tahun itu pada akhirnya mendatangkan hasil, sebagaiman tuntutan-tuntutan mereka berkaitan dengan upah dan grafitasi, tunjangan hari raya Lebaran, upah kerja lembur dan tunjangan kesejahteraan sosial lainnya sesuai dengan status mereka (buruh tetap dan buruh lepas), sudah dipenuhi oleh majikan. Namun demikian politisasi gerakan buruh di pelabuhan Semarang, dengan tuntutan profitsharing yang bernuansa sosialis/komunis mengakibatkan pemogokan menjadi berlarut-larut, endemik, dan sulit diatasi.
Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa intervensi politik dalam gerakan dan aksi-aksi buruh dalam berbagai bentuknya memang merupakan pembelajaran bagi para buruh untuk berorganisasi lebih baik atau profesional dan menimbulkan kesadaran atas hak-haknya. Namun demikian intervensi politik itu ternyata lebih mengutamakan tujuan politik daripada kepentingan buruh yang lebih bersifat mendasar. Sementara itu intervensi pemerintah baik pada zaman kolonial Belanda, revolusi, maupun republik lebih berorientasi pada stabilitas politik dan ekonomi, sehingga apabila hal itu terancam pemerintah lebih berpihak kepada majikan daripada kepentingan buruh.

Sumber: Agustinus Supriyono, Buruh Pelabuhan Semarang, pemogokan-pemogokan zaman kolonial Belanda, revolusi dan republik 1900-1965, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP dan Toyota Foundation, 2007).