Munculnya perekonomian nasional yang terintegrasi merupakan suatu proses perlahan-lahan. Dasar-dasarnya diletakkan di Jawa selama abad ke 19, tetapi penggabungan ekonomis bagian kepulauan lainnya lama diperlambat oleh pengaruh nilai tukar ledakan ekspor di luar Jawa. Pembentukan sebuah ekonomi nasional, seperti negara nasional, merupakan proses yang hampir organis. Titik awalnya adalah penggambaran batas-batas nasional. Tanpa batas-batas nasional memang ada aktivitas ekonomi tetapi tidak ada yang dapat mendefinisikan sebagai ekonomi nasional. Ekonomi-ekonomi nasional muncul bukan sebagai evolusi alamiah tetapi sebagai penyimpangan yang tidak alamiah yang dipaksakan oleh kekuatan militer kekuasaan Eropa sejak abad ke-19. Peralihan dengan kekerasan dari dunia perdagangan maritim yang terintegrasi secara longgar menuju ekonomi –ekonomi kolonial ditandai dengan batas-batas teritorial yang jelas dan berbagai ketegangan dan konflik yang disebabkannya, merupakan bahan sejarah ekonomi Asia Tenggara.
Pada abad ke 19 terjadi pertarungan di antara negara Eropa untuk menandai wilayah pengaruh dengan batas-batas jelas yang diakui melalui perjanjian internasional. Semula klaim-klaim ini hanya bersifat formal tetapi sekali batas-batas dibuat, mereka tanpa dapat ditawar-tawar lagi menegakkan kekuasaan kolonial. Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 menghapuskan kedudukan Inggris di Sumatera (Bengkulu) dan kedudukan Belanda di Semenanjung Malaka. Sampai pasifikasi tahun 1900-an banyak penguasa pribumi masih menganggap dirinya sebagai penguasa dan siap berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemerdekaan mereka dari gangguan kolonial. Oleh karena itu, seperti India milik Inggris, Hindia Belanda menyerupai negara yang terpotong-potong daripada sebuah negara kesatuan. Dalam segi ekonomi, perdagangan berlangsung dalam batas-batas kolonial yang semu.
Di Hindia Belanda pertama-tama Belanda mengkonsolidasikan pemerintahannya di Jawa dan mengembangkan dasar ekonomi Jawa hampir terisolasi dari bagian kepulauan lainnya. VOC membangun markas besarnya di Jakarta (Batavia) pada tahun 1619 lebih didasarkan keuntungan strategis daripada nilai ekonomi perdagangan Jawa pada saat itu. Lewat dua abad berikutnya VOC secara bertahap terlibat dalam produksi lokal, pertama melalui penyerahan wajib barang-barang perdagangan tetapi pada abad ke-18 melalui pengawasan penanaman kopi di Priangan. Pabrik gula yang digerakkan ternak juga dibangun oleh orang Cina di dataran rendah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Seiring dengan perkembangan tanaman perkebunan dan produksi pangan, abad ke-19 juga merupakan saat dilangsungkannya perbaikan komunikasi darat di Jawa. Daendels mengarahkan tenaga kerja untuk membangun Jalan Raya Pos sepanjang pantai utara Jawa dari Selat Sunda sampai Selat Bali. Di bawah sistem tanam paksa banyak tenaga kerja juga digunakan untuk memperbaiki jalan dan membangun jembatan bagi pengangkutan produksi ekspor dengan gerobak, biasanya ke tempat-tempat yang dekat dengan sungai dan pelabuhan.
Bagian pertama rel kereta api dibuka tahun 1867 dan pada tahun 1880 berbagai jalur disambung ke pedalaman dari pelabuhan-pelabuhan Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Pada pertengahan 1890-an ketiga jaringan telah dihubungkan. Jalur kereta api kemudian menggantikan jalur transportasi sungai untuk pengangkutan ke pantai dan banyak memotong bisnis pengapalan di pantai utara. Lagi lupa, telegraf telah banyak membantu kecepatan komunikasi resmi. Jalur telegraf pertama dirancang tahun 1856 dari Jakarta ke Istana Gubernur Jenderal di Bogor.
Dalam konteks sebuah ekonomi nasional yang sedang muncul perhatian besar harus diberikan pada penggunaan istilah yang sudah akrab “Jawa” dan “luar Jawa” (pulau-pulau lain). Saat Belanda mengintensifkan eksploitasi di Jawa, pulau-pulau ‘luar Jawa tetap merupakan bagian sistem ekonomi yang terpisah dan jauh lebih tua ekonomi maritim Asia Tenggara yang sesudah tahun 1819 difokuskan ke Singapura. Dengan mengendalikan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia Timur, Singapura merupakan pelabuhan yang paling penting untuk memaggil kapal-kapal dengan semua bendera. Di Singapura para pedagang yang berurusan dengan produk-produk dari Semenanjung Melayu yang dikumpulkan dari hutan dan laut seluruh kepulauan dan sejauh daerah Thailand dan Indo China Selatan, produk ini disortir, diproses, digolong-golongkan, dan dikemas kembali untuk kiriman pasar-pasar internasional. Di Jawa tempat para pedagang berurusan dengan produk perkebunan seperti gula, kopi, tembakau, nila, fasilitas-fasilitas komersial tersebut belum ada.
Pengaruh-pengaruh awal integrasi politik ditopang dengan periode autarki selama perang dunia I. Meskipun Belanda tetap netral dalam konflik ini, Hindia Belanda sangat dikacaukan. Pada tahun 1915 ongkos-ongkos pengangkutan laut dalam mulai melonjak dan dari 1917 blokade negara-negara aliansi mengganggu sebagian besar bahan-bahan tidak hanya dari Eropa tetapi sumber-sumber baru di Amerika Utara dan Jepang.
Sesudah masa kemerdekaan ada kecenderungan ke arah integrasi ekonomi. Autarki masa perang baik sebelum dan selama pendudukan Jepang diikuti dengan berlanjutnya restriksi pertukaran asing dan dorongan substitusi impor. Data tahun 1955 menyataka begitu saja rasio perdagangan antarpulau terhadap perdagangan asing 58 persen, yang memberi kesan bahwa ekonomi menjadi lebih banyak terintegrasi sejak 1939.
Data perdagangan antarpulau tahun 1957 lebih memberi wawasan karena dipecah-pecah dalam provinsi. Pertama, jika kepulauan dipecah dalam tiga bagian, Barat, Jawa, dan Timur dapat dilihat bahwa semua perdagangan antar pulau. Kedua, Jawa mempunyai surplus besar dengan pulau-pulau ‘luar Jawa’. Ketiga, perdagangan Jawa masih tumpang tindih sangat berat ke arah barat. Keempat, sebagai akibat perang sipil, otonomi yang lebih besar, dan penyelundupan Makassar mengalami kemerosotan besar sebagai gudang pengiriman barang untuk Indonesia bagian Timur. Kelima, Indonesia bagian barat masih beum mempunyai gudang pengiriman sendiri. Kesan umum dari sebuah ekonomi masih sangat jauh dari integrasi.
Secara umum, dapat disimpulkan. Pada abad ke-19 Jawa dikonsolidasikan sebagai daerah inti ekonomi, kekuatan yang mendorong adalah perkembangan kapasitas produktif yang baru secara besar-besaran di Jawa. Sejak akhir 1960-an Jawa telah mengalami revolusi industri terlambat. Fase pertama akhir 1967 sampai kerusuhan Malari bulan Januari1974 didorong oleh penanaman modal asing. Fase kedua yang berakhir sekitar 10 tahun dari Repelita kedua hingga Repelita ketiga melibatkan substitusi impor di belakangsebuah dinding bea impor. Pada pertengahan 1980-an ketika perdagangan dan pelayaran diliberalisasikan dan nilai tukar didevaluasi sebagai bagian dari perangsang ekspor non-migas, provinsi-provinsi pulau-pulau ‘luar Jawa’ tidak lagi didesak dari ekspor lewat Singapura tetapi terus menarik barang-barang manufaktur dari Jawa.

Sumber:
Dick, H.W. (2002). Munculnya Ekonomi Nasional, 1808-1990-an, dalam Lindblad, J. Thomas. (Ed.) Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: PSAT UGM dan Pustaka Pelajar.