“kebutuhan mendasar manusia disamping sandang, pangan dan papan adalah pengakuan dari sesama” (Charles Taylor)

Gelombang pengungsi timur tengah yang menyerbu daratan eropa barat menjadi tragedi pilu yang mewarnai perjalanan ziarah peradaban manusia. Para pengungsi menyeberangi samudra dan benua dengan kapal dan perahu yang sederhana untuk bertahan hidup dan mendapatkan suaka bagi keluarga dan diri mereka sendiri. Pemandangan tragis dan menyangat kalbu terlihat ketika mereka tak mampu survive dan jenazah mereka terombang-ambing di lautan. Sebagian kelaparan, menderita berbagai penyakit kronis selama perjalanan. Terhadap nasib dan kehidupan pengungsi ini negara-negara eropa menunjukan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang menutup perbatasannya rapat-rapat, ada yang membuka dengan syarat dan ketentuan tertentu namun ada pula yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi pengembara yang tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa ini untuk alasan kemanusiaan.
Terlepas dari berbagai alasan yang membuat beberapa negara menolak para pengungsi, pada taraf yang paling rendah setidaknya rasa kemanusiaan adalah palang pintu terakhir yang membuat kita menerima sesama apa adanya. Situasi para pengungsi yang tidak memiliki apa-apa selain martabat kemanusiaan mereka adalah ajakan untuk menerima mereka sebagai manusia meski berbeda budaya, suku, agama, golongan dan lain sebagainya.
Dewasa ini ketika penduduk dunia terpolarisasi oleh politik identitas yang sangat kental, rasanya menerima sesama membutuhkan usaha dan kerja keras. Charles Taylor benar ketika mencuatkan gagasan tentang multikulturalisme bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia modern adalah pengakuan dari sesamanya. Pengakuan yang dimaksud adalah keterbukaan hati untuk menerima orang lain yang berbeda dengan kita. Tragedi terbesar peradaban kita sekarang terjadi manakala manusia mengecualikan atau menolak sesamanya karena identitas yang melekat dalam diri seseorang. Bagi Taylor aktualisasi atau kepenuhan menjadi manusia akan terjadi manakala kekhasan seseorang sebagai manusia diakui oleh manusia lainnya. Dunia akan menjadi berwarna ketika keunikan setiap orang terpancar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat pesat membuat batas-batas antarnegara menjadi luruh. Persilangan dan saling mempengaruhi antarbudaya menjadi hal yang tidak terelakkan. Pengakuan akan orang lain berikut budaya lain yang berbeda dengan budaya kita adalah sebuah keharusan. Inilah yang juga ditawarkan oleh multikulturalisme. Perbedaan budaya menjadi kekayaan yang tidak bisa dihindarkan. Oleh karena itu hidup berdampingan dengan kaum minoritas, orang yang berbeda pandangan politik, agama dan ideologi haruslah mengedepankan dialog dan saling memahami serta menerima perbedaan.
Tantangan besar bagi penduduk bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana menerima budaya asing dalam konteks adanya budaya local (local wisdom) yang telah lama menjadi identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Di tengah pengaruh budaya Barat dan euphoria K-pop yang melanda generasi muda Indonesia, bisakah local wisdom selalu survive tanpa harus memiliki sikap antipati terhadap kebudayaan asing tersebut? Goncangan budaya pada beberapa lapisan generasi masyarakat pasti akan terjadi.
Multikulturalisme sejatinya adalah sikap untuk menerima keanekaragaman budaya. Kemampuan untuk menerima yang berbeda dengan kita harus dilandasi oleh kebesaran hati dan kesediaan untuk membuka ruang dialog dengan orang lain. Akan tetapi multikulturalisme tidaklah sama dengan sikap kompromistis. Multikulturalisme juga berarti membiarkan yang local tumbuh bersama dengan budaya baru lainnya tanpa saling menghilangkan. Dalam hemat penulis salah satu aplikasi dari arti ideologi terbuka yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah kemampuan untuk menerima yang berbeda tanpa harus menghilangkan jati diri bangsa Indonesia. Demokrasi terbangun dari dari sikap yang mampu menghargai perbedaan.
Dalam deru perkembangan zaman yang semakin tak terkejar -seiring definisi budaya yang mengalami perluasan arti- penerimaan akan perbedaan adalah hal yang mutlak. Definisi dan jenis perbedaan ada banyak tetapi satu-satunya imperative yang membuat seseorang harus menerima kehadiran orang lain adalah tanggung jawab dan panggilan seseorang pada kemanusiaan yang tak bisa ditawar.

Bahan bacaan:
Parekh, Bikhu, 2008, Rethinking Multiculturalism, Keberagamana Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius.
Taylor, Charles, 1992, Multiculturalism and the Politics of Recognition, pdf. file.