AGAMA, BALA DAN HARAPAN
Sejarah dunia akan mencatat pandemic global yang menciptakan ketakutan dan kekalutan di 2020 ini. Betapa tidak, serangan Covid-19 mengubah hampir semua dimensi kehidupan manusia tak terkecuali kehidupan beragama. Phsycal dan social distancing mengharuskan ritual dan ritus keagamaan yang melibatkan banyak orang dilarang. Gereja-gereja menjadi sepi, masjid seolah tak berpenghuni, wihara dan pura tidak lagi memperlihatkan aktifitas sekelompok orang untuk memuji yang mahatinggi. Manusia memilih diam di rumah sambil memberikan sebuah alasan ultim: takut untuk mati karena terjangkit virus. Di rumah ia dengan tenang memuji dan memohon kepada sang pemilik kehidupan dan kematian.
Tidak ada yang lebih serem dari kematian sebab kematian menghilangkan harapan. Kematian membuat segalanya selesai. Bayangan akan kematian dan harapan akan kehidupan serentak membuat manusia melakukan segala daya dan upaya agar kehidupan dan harapan selalu berjalan bersama. Dalam upaya antisipasi seperti ini pemeluk agama terpolarisasi dalam dua kutub yang berlawanan. Pada kutub yang satu adalah mereka yang menyerahkan diri secara pasrah pada Tuhan sambil berujar: “mengapa harus takut pada Covid-19. Ritus dan ibadat harus tetap berjalan”. Mereka tetap khusuk dalam kebersamaan melakukan ritus keagamaannya. Pada aras yang lain sekelompok orang memilih tinggal di rumah, menatap layar televisi dan mendengarkan radio untuk melakukan kewajiban agama; Sebuah ‘budaya’ baru yang hampir dianut oleh semua negara di dunia yang terpapar covid-19. Pada model praktik keagamaan yang pertama, para penganutnya memiliki argument yang menjadi dasar tindakan mereka. Mereka percaya bahwa imanlah yang menyelamatkan dan hidup manusia berada di tangan Tuhan.
Berhadapan dengan bala yang merengut nyawa manusia dan dialami oleh hampir semua negara di dunia agama kerapkali mengalami kegagapan. Agama terkesan memberikan jawaban yang utopis tanpa solusi konkret. Hantaman terhadap agama menjadi sangat nyata Ketika dihadapkan dengan sains dan teknologi yang mampu memberi bukti dan jawaban. Sindiran terhadap kelompok pertama yang mengandalkan ‘doa’ untuk menangkal Covid-19 datang dari berbagai penjuru. Mereka dianggap sebagai kaum skeptis sekaligus apatis. Zaman ini mengingatkan penulis akan krisis besar Ketika sejarah dunia memasuki ambang masa pencerahan (aufklaerung). Segala dalil yang tidak berbasiskan akal budi yang memadai ditolak karena tidak masuk akal. Praktik beragama yang tak msuk akal juga ikut ditolak.
Apa yang bisa diberikan agama di tengah bala Covid-19 ini? Apakah agama adalah pelarian bagi manusia yang tidak mampu menerima realitas yang dihadapi saat ini seperti yang pernah dikatakan Feuerbach? Bukan tidak mungkin tuduhan bahwa manusia yang mengandalkan doa dalam untuk melawan bala adalah orang-orang absurd yang pasrah menerima kematian.
Bagi Ernst Bloch (meski dirinya adalah seorang atheis) agama adalah medan bagi hidupnya harapan. Agama adalah sebuah senjata pamungkas yang di dalamnya mampu merawat asa manusia meskipun dalam situasi sulit. Harapan tersebut menyatukan memori kolektif semua orang. Dalam konteks Bloch ini, berdoa di tengah bala adalah ungkapan harapan yang hidup. Pada saat yang sama juga harapan adalah ungkapan keterbatasan manusia. Manusia sadar bahwa secara kodrati ia hanya bisa sampai pada situasi batas hidupnya. Dalam penderitaannya manusia sadar bahwa ada yang lebih berkuasa dari dirinya yakni Allah sendiri. Dengan demikian agama sejatinya adalah sebuah wadah yang menghidupkan harapan.
Agama memang menghidupkan harapan namun beragama selalu membutuhkan akal sehat. Adagium Latin klasik: Fides Quaerens Intelectum (iman membutuhkan akal budi) adalah pedoman yang baik dalam beragama. Harapan tidak hidup dalam ruang hampa. Harapan juga tidak berarti kepasrahan yang buta. Harapan dihidupkan dalam situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata lain selalu ada konteks agar harapan tidak padam. Menghidupkan harapan agar terealisasi selalu membutuhkan kalkulasi dan kajian yang terukur jengkal demi jengkal. Harapan dalam diri orang beragama akan menjadi hidup ketika iman diungkapkan dengan tindakan konkret yang mempertimbangkan
Bangsa Indonesia adalah bangsa beragama. Itulah yang diaffirmasi dalam sila pertama Pancasila. Pengakuan akan keberadaan Tuhan tidak berarti menafikan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Jika kita tetap memaksakan diri maka kita sebagai bangsa akan jatuh dalam formalisme agama yang akut. Kita lebih mementingkan bungkusan daripada isi/substansi agama. Ritual dan penghayatan hidup sejatinya harus selalu berjalan bersama.
Dalam situasi bala Covid-19 seperti saat ini peran agama ialah untuk memberikan refleksi religius. Agama membantu manusia mengambil jarak dari realitas sambil memberi jarak kritis. Covid-19 dalam pandangan agama bisa saja dilihat sebagai moment manusia melihat kembali perlakuannya terhadap ‘ibu bumi’. Dalam pandangan ecofeminis alam dan perempuan adalah objek yang mengalami penderitaan ganda karena nafsu manusia. Pemulihan terhadap alam akan terjadi ketika alam tidak lagi dilihat sebagai objek yang dieksplorasi. Titik jeda manusia untuk memindahkan kesibukan hariannya dari pabrik, kantor dan sekolah ke rumah (work from home) karena Covid-19 telah terbukti memulihkan secara perlahan lapisan ozon yang sebelumnya telah menipis. Covid-19 mengajak manusia untuk menjadi makhluk ekologis yang dengan pengetahuannya menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Manusia ekologis adalah manusia yang selaras dengan alam. Dengan menjaga nilai-nilai kehidupan manusia melanjutkan karya penciptaan yang telah Tuhan mulai. Dengan kata lain penciptaan tidak berhenti ketika Tuhan melewati 7 hari penciptaan seperti yang diimani oleh agama Semitik. Penciptaan selalu terjadi ketika manusia mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merawat dan melestarikan nilai-nilai kehidupan.
Kembali pada pertanyaan pada bagian terdahulu: apa sumbangan agama untuk situasi saat ini? Agama memang tidak memberikan jawaban definitif tetapi agama membantu pemeluknya untuk melihat lagi pola relasinya dengan Tuhan, sesama dan alam ciptaan. Relasi harmoni diantara ketiganya membuat manusia beragama bisa melihat bahwa pada hakekatnya agama adalah kekuatan pembebas yang membantu umatnya tidak kehilangan harapan di tengah situasi krisis karena covid-19 saat ini.
Sumber bacaan:
Fios, Frederikus, 2019, Manusia Ekologis, Jakarta: Pustaka Hegel.
Mies, Maria and Vandana Shiva, 1993, Ecofeminism, London: Zed.
Suseno, Franz-Magnis, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20200401094524-199-488980/di-tengah-pandemi-corona-ilmuwan-sebut-lapisan-ozon-membaik
Comments :