Pasca tahun 1975 merupakan era keterpurukan ludruk dimana pada periode pasca G30S PKI kesenian ludruk merupakan sudah mulai mengalami penurunan pamor dari ludruk dan adanya kebijakan politik dari rezim orde yang menganggap ludruk masih sebagai kendaraan propaganda dari PKI, sehingga segala aktivitas ludruk sempat dibekukan oleh pemerintah. Namun pemerntah orde baru mulai sadar bahwa ludruk cukup efektif sebagai alat propaganda yang mampu menembus kalangan kelas bawah mulai memberi ruang bagi kesenian rakyat ini meskipun dengan dalih sebagai upaya pelestarian budaya, maka ludruk dihidupkan lagi dengan dibawahi atau diorganisir oleh militer yaitu ABRI. Setelah tahun 1975, ABRI sebagai badan yang membawahi ludruk pasca periode G 30S PKI akhirnya melepas ludruk sehingga ludruk berdiri secara mandiri dan independen. Dari sini merupakan awal gugurnya grup-grup ludruk yang tidak mampu bertahan. Salah satu penyebab mengapa grup-grup ludruk mulai runtuh satu persatu adalah karena ludruk sudah terlalu lama diayomi atau dimanja dengan sitim yang sudah teorganisir dan mendapat sokongan fasilitas dengan mudah sehingga ludruk tidak dapat menemukan sistim manajemen dan organisasinya sendiri. Pada orde lama dibawahi oleh PKI dan orde baru diawahi oleh ABRI ketika ludruk dilepas secara independen atau mandiri maka yang masih dapat memegang atau membawahi ludruk adalah mereka yang mempunyai financial lebih atau dalam bahasa para pemain ludruk disebut juragan. Para juragan inilah yang membuat ludruk tetap hidup karena memang biaya untuk sekali pentas ludruk tidaklah murah yaitu sekitar 7-8 juta sekali pentas di tahun 80an.

Pada era 80an ludruk masih ditampilkan namun semakin berkurangnya sponsor atau perusahaan yang memakai jasa ludruk dalam sebuah pertunjukan semakin berkurang. Hingga pada awal 90an eksistensi ludruk sudah benar-benar terpuruk dan bagi beberapa orang saat ini kesenian ludruk sudah mengalami kejatuhan dan menunggu kepunahannya dan bukan tidak mungkin jika nanti ludruk yang empat menjadi ikon seni budaya Surabaya hanya menjadi legenda.

Situasi upaya keberlangsungan ludruk saat ini sangat memprihatinkan. Minimnya animo atau kesadaran masyarakat akan seni ludruk,gedung-gedung pertunjukan ludruk yang sudah beralih fungsi karena sepinya perunjukkan serta grup-grup ludruk yang sudah sangat sedikit sekali di Surabaya semakin membuat kesenian ludruk semakin jatuh. Adapun upaya dari Pemerintah Kota Surabaya untuk tetap mempertahankan ludruk dengan memindahkan satu-satunya gedung pementasan ludruk yang tersisa di Surabaya yang terletak di Pulo Wonokromo ke THR Surabaya karena gedung tersebut akan dialihfungsikan dan usaha Pemerintah Kota Surabay untuk kembali menghidupkan Taman Hiburan Rakyat yan juga diambang keterpurukan serta upaya tetap melestarikan kesenian tradisional Surabaya.

Kondisi Gedung Ludruk Irama Budaya, Pulo Wonokromo.

Tidak adanya pihak yang saling mendukung sehingga ludruk seakan berjalan sendiri serta dampak modernisasi dan digitalisasi membuat seni perunjukkan tradisional seperti ludruk mulai meredup pamornya. Ketidak seriusan pemerintah juga menjadi faktor dimana usaha melestarikan seni dan budaya tidak dapat berjalan sendiri.

Pementasan Ludruk di Gedung Cak Durasim,Surabaya.

 

Daftar Pustaka