MALANG, KOMPAS.com – Pendidikan tingi perlu punya program untuk benar-benar bisa dijadikan jembatan yang sifatnya saling menguntungkan antara pendidikan tinggi dan industri. Tujuan akhirnya agar link and match antara kedua pihak benar-benar tercapai.

Demikian dipaparkan Dr Meyliana, Wakil Rektor Binus University, pada seminar “Digitalpreneur in Industrialization 4.0” dalam rangka peresmian kampus Digital Technology Entrepreneurship Binus Malang, Araya Mansion, Malang, Rabu (20/2/2019). Berdasarkan data BPS 2018 ini, papar Meyliana, jumlah tenaga kerja bertitel sarjana (S-1) yang menganggur naik 1, 13 persen dari 2013 ke 2018. Adapun sarjana yang bekerja tidak sesuai bidang keilmuannya mencapai 63 persen. “Untuk mendapatkan talenta tenaga kerja yang bagus itu biaya rata-rata perusahaan untuk membayar training per orang per tahun itu Rp 7 sampai Rp 10 juta per tahun. Itu tinggi,

” kata Meyliana. Untuk itulah, sebagai lembaga pendidikan tinggi Binus University sudah membesut program Binus Industry Partnership Program (BIPP). Program yang dijalankan sejak 2014 ini untuk menjembatani kebutuhan pihak industri. “BIPP membuka kerjasama strategis partnership yang saling menguntungkan untuk dapat win win solution bagi kedua pihak. Ikut program ini gratis keanggotaannya. Pada level top atau tertinggi di BIPP itu BCA. Ada sekitar 160 mahasiswa Binus magang di BCA setiap tahun,” tambah Meyliana. Meyliana menambahkan, total mahasiswa Binus pada setiap angkatan itu mencapai 8000 mahasiswa tiap tahun. Dengan jumlah sebanyak itu Binus memberikan kesempatan kepada industri untuk menjadi anggota BIPP agar bisa ikut terlibat langsung mendidik mahasiswa.  “Kami tidak menjual tenaga kerja, bukan memasarkan tenaga kerja, tapi mengajak industri untuk sama-sama membina mahasiswa. Ini mendidik, bukan sebagai suplier tenaga kerja. Kami berikan 32 SKS ke industri untuk mendidik dan membina mereka,” kata Meyliana.

Gagal? Ulang!  Toh, semua pilihan kembali ke si mahasiswa. Gagal pada proses magang, si mahasiswa harus mengulang lagi. “Karena mereka kami didik, bukan sekadar main-main di perusahaan orang. Ini yang kami sebut dengan konsep 3+1,” kata Meyliana. Menurut dia, konsep tersebut dibuat untuk mempersiapkan 2 dari 3 lulusan bisa bekerja di perusahaan global. Si mahasiswa akan studi selama 3 tahun di dalam kampus, lalu 1 tahun lagi mereka akan punya pilihan untuk dilakoni, yakni magang di perusahaan, studi ke luar negeri, riset atau penelitian, membentuk komunitas (community develoment), dan berwirausaha. “Tenang, kami punya supervisor untuk lima pilihan di satu tahun studi itu, karena mahasiswa tetap harus diawasi.

Sejauh ini 88 persen pilihan mahasiswa adalah magang, dan ada 5000-an mahasiswa kami yang mencari tempat magang setiap tahun,” ujar Meyliana. Dia mengingatkan, bahwa generasi yang masuk masa kerja saat ini adalah anak-anak generasi Z, bukan lagi milenial. Mereka adalah generasi i atau generasi internet. “Semakin ke bawah itu kecerdasan generasi terhadap teknologi semakin tinggi. Industri harus menyadari itu. Wong, anak umur 2 tahun sudah bisa main Youtube kok. Ini juga yang ingin kami bangun di Binus Malang,” ucap Meyliana. Rektor Institut Teknologi Riset Binus Malang, Boto Simatupang, mengatakan selama 3 tahun merintis kampus Binus Malang dia mencatat ada sekitar 400 mahasiswa di kampus tersebut. Adapun untuk tahap pertama kampus baru ini pihaknya akan menampung 5.000 mahasiswa.

“Kami fokus meningkatkan entrepreneurship dengan pendekatan digital. Ini juga respons atas kebutuhan mahasiswa yang ingin mendapatkan pengalaman belajar secara smart class, creative class dan juga reguler class,” sambut Boto. Pendekatan tersebut cocok dengan progam 2+1+1 dirancangnya untuk para mahasiswa Malang. Dengan konsep itulah Binus sangat memungkinkan menerapkan mobilitas mahasiswanya. “Kalau mahasiswa itu masuknya di Binus Malang, dia akan 2 tahun kuliah di Malang sebagai home campus, kemudian 1 tahun atau 2 semester akan kami pindahkan kuliah di kampus Binus Jakarta atau Bandung,” papar Boto. Boto mengatakan, dua tahun lalu banyak mahasiswa Binus yang suka memilih magang ke perusahaan rintisan (start up). Mereka berkeinginan kuat untuk mencicipi suasana kerja yang freestyle seperti dunia mereka, dunia anak-anak muda yang bebas. “Tapi, generasi Z saat ini sudah berbeda lagi. Sekarang mereka butuh perusahaan yang settle, yang nyaman dan stabil. Jadi, sudah beda lagi trennya sehingga sangat penting informasi perusahaan atau industri di mata mahasiswa. Istilahnya, tak kenal maka tak sayang,” kata Boto.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Binus University: Kami Tidak Menjual Tenaga Kerja! “, https://edukasi.kompas.com/read/2019/02/21/07300061/binus-university–kami-tidak-menjual-tenaga-kerja-?utm_source=Whatsapp.
Penulis : Latief
Editor : Latief