Oleh:
Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil

Pendidikan agama yang kontekstual dan pluralis sebagai sebuah rekomendasi di Indonesia adalah model pembelajaran agama yang turut memuat keragaman wawasan agama di sebagai basis moral problem sosial dewasa ini. Tujuan model pembelajaran demikian adalah membentuk watak mahasiswa yang toleran-inklusif dan peduli baik kapasitasnya sebagai warga bangsa maupun umat beragama. Agama tidak bisa bersikap cukup diri dalam wacana-wacana keimanan internal. Sebaliknya agama mesti pula mengambil bagian dalam penguatan pendidikan kewarganegaraan. Sebab umat beragama jugalah warga negara begitu pula sebaliknya, keduanya tak terpisahkan. Maka, keduanya mesti saling memperkuat bahwa umat beragama dalam kapasitasnya sebagai warga negara juga memiliki tanggungjawab kepada masyarakat luas di luar komunitas keagamaannya.

Saya berpendapat bahwa model pendidikan agama inklusif dan kontekstual ini lebih sesuai untuk diterapkan di iklim perguruan tinggi. Mahasiswa sudah berada di tahap pembelajaran yang menuntut kemandirian dalam mengelaborasi argumentasi di mana ketajaman argumen jelas memerlukan keterbukaan alam pikir untuk mengunyah beragam sumber referensi. Keterbukaan berpikir dalam dunia pendidikan tidak saja sebagai syarat tetapi juga sebuah tujuan pendidikan sebagai tradisi akademis yang sangat positif.
Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dan melindungi keberagaman, tak dapat disangkal adalah landasan yang sangat tepat dan memudahkan bagi segala upaya merintis dan mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, terbuka dan kontekstual. Karena itu, Pancasila menjiwai itikad yang hendak mengkongkretkan hegemoni toleransi di negeri ini guna menyangkal radikalisme dan ekstremisme agama yang juga telah menancap kuat di dalam sanubari masyarakat.

Gagasan ini tentu saja sangat membutuhkan jiwa dan pikiran yang terbuka dari segala pemangku pendidikan agama di negeri ini oleh negara melalui Kementrian Agama dan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi, organisasi-organisasi keagamaan, civil society penggerak gagasan kebhinekaan, pemuka agama, dan jajaran dosen-pendidik agama dalam menyetujui pendidikan agama yang inklusif, terbuka dan kontekstual yang mendesak untuk dirumuskan. Jika ada konsensus atas wacana ini, saya yakin Indonesia justru menjadi acuan pendidikan agama yang damai dan konstruktif, setidaknya di kawasan Asia Tenggara. [***]