Oleh:
Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil

Meminjam pemikiran Antonio Gramsci, politisi sekaligus filsuf politik abad 20 lalu yang secara tekun menyusun konsepsi hegemoni tatkala menjadi tahanan politik rezim fasisme Mussolini di dalam penjara, saya berpikir kerangka hegemoni yang diulas oleh Gramsci sangat relevan untuk digunakan dalam meletakkan dasar proses membangun hegemoni toleransi di Indonesia. Berpijak dari Gramsci, ketika kita menyetujui penegakkan hegemoni berarti pula kita menerima dua hal. Pertama, menyadari adanya kontestasi ideologi/nilai yang ingin dimenangkan dari masyarakat, dan kemenangan sebuah ideologi dari yang lainnya sepenuhnya dideterminasi dari penerimaan dan dukungan seluas-luasnya oleh masyarakat. Maka, mengelola alam pikir masyarakat secara masif untuk memberikan persetujuannya kepada ideologi tertentu di tengah persaingan dengan ideologi lainnya, mutlak memerlukan proses edukasi. Dan ini berarti hal kedua yang diterima adalah adanya mekanisme edukasi kepada masyarakat untuk membangun keterikatan masyarakat dengan nilai (ideologi) yang ditawarkan kepadanya sehingga bermuara kepada keputusan setiap anggota masyarakat untuk memeluk/mendukung nilai tersebut.

Adanya temuan fakta intoleransi oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah bulan Oktober 2018 lalu, kita harus berani mengakui secara jujur bahwa ada persaingan ideologi di negeri ini: Pancasila sebagai ideologi dasar negeri ini sungguh-sungguh secara nyata ditantang oleh ideologi fundamentalisme/puritanisme agama. Maka, untuk meraih dukungan masyarakat Indonesia secara signifikan terhadap Pancasila sebagai ideologi tunggal negeri ini dengan keutamaan toleransi dan inklusivitas yang terkandung di dalamnya, jelas memerlukan pengembangan upaya-upaya hegemonik guna memenangkan dukungan masyarakat terhadap nilai-nilai toleransi dan inklusivitas. Artinya, merintis mekanisme hegemoni nilai-nilai toleransi sama halnya dengan usaha meneguhkan Pancasila sebagai ideologi dasar dan tunggal negeri ini. Dan mengacu kepada Gramsci, upaya hegemoni mutlak menyatu dengan proses edukasi.

Saya mengajukan sebuah rekomendasi yang secara khusus tertuju kepada pendidikan agama untuk menyebarkan dan meneguhkan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas. Pendidikan agama yang lebih maju, yaitu yang tidak lagi berkutat kepada wacana-wacana ritual dan doktrinal guna memperkuat mutu keimanan peserta didik secara ekslusif dan inheren dari sumber-sumber internal ajaran agama itu sendiri, melainkan kepada model pendidikan agama yang inklusif dan kontekstual. Dalam model demikian, pengajaran agama mulai keluar dari dunianya yang internal kepada dunia masyarakat yang diisi oleh keragaman agama, aliran keyakinan dan kompleksitas persoalan sosial di mana agama sudah semestinya tidak lagi tinggal diam.

Secara konkret model pendidikan agama yang inklusif dan kontekstual di Indonesia terwujud kepada isi kurikulum pendidikan agama: (1) yang di dalamnya mengajarkan sikap toleransi – kerjasama antar umat beragama dan cinta tanah air (nasionalisme) yang didukung dengan segenap ayat kitab suci yang mendasarinya. Memberi kebaikan kepada bangsa dan negara dalam atmosfer Indonesia, salah satunya terwujud dalam sikap penghargaan dan penerimaan kita terhadap keberagaman identitas hidup saudara-saudara sebangsa adalah tindakan yang selaras dengan prinsip agama; (2) meneropong problem-problem sosial seperti kerusakan lingkungan hidup, korupsi (problem kejujuran, ketidakadilan dan materialisme) dan pelanggaran HAM dengan mendasarkan diri kepada enam ajaran agama; (3) peran agama-agama dalam membawa perdamaian yang meliputi pembicaraan mengenai pengampunan, kerendahan hati dalam beragama dan kontribusi umat agama bagi lingkungan masyarakat untuk membangun negara, dan (4) yang terakhir, tentu saja memuat keragaman ritus-tradisi dalam enam ajaran agama secara umum.

Model pendidikan agama semacam itu telah berjalan di perguruan tinggi Bina Nusantara. Wawasan keagamaan mahasiswa diarahkan kepada ragam doktrin agama-agama di Indonesia dalam mencari jalan keluar isu sosial aktual. Dari model pembelajaran seperti ini, mahasiswa tidak saja memahami doktrin agamanya secara kontekstual mengenai problem tertentu, tetapi mahasiswa juga belajar wawasan agama lain mengenai problem yang sama. Dari situ mahasiswa sudah terbiasa dengan keragaman doktrin agama. Dan inilah proses konkret mengasah sikap toleransi. [***]