Alasan Gisel Gisella Anastasia Ogah Rujuk Setelah Gugat Cerai Gading Marten. Total Budget Pernikahan “Crazy Rich Surabayan” di Bali. Acha Septriasa Jatuh Miskin, Tidur Di Atas Tikar.

Judul-judul berita di atas seringkali kita jumpai ketika sedang mengakses media online melalui smartphone. Apakah kita tertarik untuk meng-klik atau membukanya? Jawabannya tentu saja iya. Siapa yang tidak ingin mengetahui penyebab perceraian Gading-Gisel yang sedang hangat diperbincangkan oleh netizen? Atau siapa yang tidak penasaran akan total budget pernikahan pasangan Crazy Rich Surabayan, Jusup-Clarissa yang viral belakangan ini?.

Sayangnya, terkadang judul-judul yang sensasional tersebut tidak sinkron dengan isi beritanya. Berita tentang Gading-Gisel misalnya. Apabila melihat dari judulnya, pembaca mungkin berekspektasi akan mendapatkan fakta tentang penyebab perceraian Gading-Gisel. Namun setelah dibuka, tidak ada satupun yang menyebutkan tentang penyebab mengapa Gading-Gisel bercerai.

Berikut pula dengan berita yang berjudul Total Budget Pernikahan “Crazy Rich Surabayan” di Bali. Isi beritanya hanya berupa estimasi yang diperkirakan sendiri oleh penulisnya, dari mengumpulkan data vendor-vendor pernikahan Jusup-Clarissa.

Tidak berbeda dengan berita Acha Septriasa yang dikabarkan jatuh miskin. Bagaimana bisa seorang artis terkenal jatuh miskin? Ternyata, itu hanya merupakan bagian dari peran Acha Septriasa di film terbarunya yang berjudul Mars.

Fenomena semacam itulah yang kita sebut dengan clickbait headline. Menurut kamus Merriam-Webster, clickbait headline adalah headline yang dirancang agar pembaca penasaran dan ingin meng-klik hyperlink yang terkait dari berita tersebut (dalam Kertanegara, 2018: 34).

Mengapa masih banyak pembaca yang termakan oleh clickbait? Berdasarkan teori Information-Gap dari Loewenstein, terdapat kesenjangan antara apa yang pembaca ketahui dan apa yang ingin pembaca ketahui (Iarovici, Amel, 1989:441). Kesenjangan informasi ini menghasilkan perasaan keingintahuan atau penasaran (Bloom & Hansen, 2015). Rasa penasaran ini kemudian memotivasi pembaca membuka halaman yang diinginkan dengan klik baru. Dengan harapan bisa mendapatkan informasi yang hilang, seperti yang disampaikan di judul clickbait (Ifantidou, 2009).

Dari sisi jurnalis sendiri, fenomena clickbait disebabkan oleh adanya tuntutan bisnis baik dari redaktur maupun pemilik media. Clickbait diperlukan untuk menarik perhatian pembaca agar traffic-nya menjadi tinggi. Beberapa pemilik media bahkan memberikan insentif bagi jurnalis yang beritanya di-klik ratusan kali atau mencapai target tertentu (Frampton, 2015).

Hendaknya, audiens atau pembaca mulai cerdas dalam mengenali clickbait. Supaya tidak terjebak dengan judul berita yang kelihatannya spektakuler di awal, namun ternyata isi beritanya kurang berkualitas. Berikut adalah teknik-teknik penggunaan clickbait yang dihimpun dari berbagai sumber: (1). Penggunaan kalimat tanya seperti, “Tahukan Anda?” (2). Penggunaan kalimat seruan seperti, “Wow!” atau “Keren!”, (3). Penggunaan listicle atau istilah memulai headline dengan nomor, seperti “3 Tempat Wisata Alam Paling Romantis di Indonesia”, (4). Penggunaan frasa catafora, ditandai dengan kata “ini” yang menunjukkan waktu, tempat, atau situasi, seperti “Berita Ini Akan Menghebohkan Pikiran Anda” (Tea, 2014; Vijgen, 2014; Bloom & Hansen, 2015).

Menurut penulis, penggunaan clickbait sah-sah saja apabila diimbangi dengan isi pemberitaan yang valid, berkualitas, dan bisa berkontribusi dalam meningkatkan pengetahuan pembaca. Penulis berharap penggunaan clickbait bisa dimanfaatkan dengan bijak oleh para jurnalis yang berperan dalam memproduksi berita. Dan semoga kita juga bisa menjadi pembaca yang cerdas dalam memilah konten digital di tengah derasnya arus informasi di era media baru ini.

***