Oleh:
Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil

Sebagai sebuah konsep, politik sebenarnya memuat makna luhur. Ditarik dari akar kata polis dalam bahasa Yunani, politik secara harafiah berarti negara-kota. Meski demikian, pengertian ini barulah sebuah petunjuk awal kepada sebuah pola kehidupan manusia yang khas. Kekhasan itu terletak pada bentuk kehidupan manusia yang dihuni tidak saja oleh diriku semata, melainkan hidup “diriku bersama dengan yang lain”. Itulah mengapa politik dalam pemikiran Aristoteles melekat dengan watak hakiki manusia sebagai zoonpolitikon yang dilacak oleh filsuf perempuan, Hannah Arendt mengandung arti bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang politik (animal socialis). Pengertian dasar yang diletakkan oleh Aristoteles ini kemudian disintesiskan oleh filsuf Abad Pertengahan Thomas Aquinas bahwa baginya “manusia pada hakikatnya bersifat politis, yaitu bersifat sosial” (Arendt, 1958: 23).

Dalam arti itu, meminjam ulasan M. Sastrapratedja mengenai awal sejarah politik Yunani, politik “yang berkaitan dengan kehidupan polis (negara-kota)” dalam bentuk kehidupan bersama, pada tingkat normatif menyatu dengan segala perkara kesejahteraan umum (Sastrapratedja, 2013 : 101). Artinya, politik identik dengan gagasan kebaikan bersama (bonum commune) sebagai cita-cita publik yang secara berkelanjutan terus diwujudkan. Inilah pengertian politik asali yang darinya kita menyetujui bahwa di dalam politik ada keluhuran.
Hanya saja membicarakan politik sebagai suatu keluhuran tidaklah mencukupi. Kehidupan bersama juga memerlukan tata kelola agar cita-cita publik dan tujuan hidup bersama sebagai tujuan luhur berdemokrasi dapat diwujudkan. Di situlah politik mesti membicarakan bentuk pemerintahan. Terkait dengan hal itu, sejak sejarah Yunani, politik terkait erat dengan demokrasi (Sastrapratedja, 2013: 101).

Secara umum, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang legalitas kekuasaannya bersumber dari pengakuan rakyat. Rakyat adalah jantung kehidupan demokrasi yang meresapi pelbagai aspek dalam tubuh demokrasi. Sebagai mekanisme dalam mengelola hidup bersama, rakyat adalah inti kekuasaan demokrasi. Hal itu terwujud ke dalam tiga faktor pembentuk demokrasi sebagaimana dipahami dalam pandangan Alan Touraine (1997: 21-76). Tiga faktor tersebut adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi, keterwakilan rakyat oleh lembaga negara ataupun non-negara untuk menggerakkan kepentingan publik dan faktor kewarganegaraan. Partisipasi rakyat adalah wujud yang paling konkret pada faktor kewarganegaraan. Inilah yang vital dalam demokrasi.

Apa arti demokrasi tanpa keterlibatan warganya? Bagaimana masa depan demokrasi jika tidak membuka ruang peran serta masyarakat? Jika keterlibatan warga tidak menjadi bagian sistem demokrasi, maka sistem politik itu niscaya bukanlah demokrasi. Sekali lagi, demokrasi adalah salah satu bentuk tata kelola hidup bersama, dan karena itu demokrasi adalah manifestasi politik. Demokrasi adalah ruang yang memungkinkan orang untuk terlibat, merealisasikan kemampuan dan komitmennya bagi tujuan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, peran aktif warga mewujudkan bonum commune sebagai modus demokrasi sebenarnya adalah tindakan politis. Ketika warga bertindak di ranah kehidupan bersama untuk mengkongkretkan kebaikan publik (politis) yang dimungkinkan dalam mekanisme demokrasi, ketika itu pula warga berpolitik. Politik dengan demikian sesungguhnya berwatak mulia. [***]

Referensi:

Arendt, Hannah, 1958, The Human Condition, Chicago & London: The University of Chicago Press.

Sastrapratedja, 2013, Lima Gagasan Yang Dapat Mengubah Indonesia, Jakarta : Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila.