Body Shamming and Government Policy
Maraknya persebaran ujaran kebencian yang saat ini berlangsung di masyarakat sudah mulai ada dalam batas yang ‘mengganggu’. Persebaran ujaran kebencian ini kian pesat dengan besarnya andil dari intrnet yang tidak diikuti dengan kecakapan dan tanggungjawab yang seharusnya. Bullying atau biasa disebut dengan perundungan adalah suatu perlakuan yang mengganggu, mengusik terus-menerus dan juga menyusahkan. Rigby (2003) menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian bullying yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak korban. Dari banyaknya pemberitaan mengenai bullying atau perundungan ini juga sebagian besar menggunakan cara body shamming atau penghinaan secara fisik.
Dampak yang muncul akibat perlakuan yang dianggap ‘sepele’ ini sebenarnya cukup meperihatinkan. Maka peru adanya kesadaran dari masyarakat pengguna sosial media untuk mampu mengkontrol cara berkomunikasi yang mereka pilih.
Penyusunan dan disahkannya undang-undang yang berkaitan dengan body shamming saat ini menjadi sorotan banyak pihak karena dianggap sebagai solusi ditengan semakin tidak jelasnya aturan dan perlindungan pengguna internet dari cyber crime. Dukungan dari banyak pihak, sosialisasi melalui para pemerhati dan komunitas anti bullying juga gencar dilakukan. Tetapi ada satu hal yang mungkin hanya terjadi dan selalu dipertanyakan di Indonesia. Seberapa jauh UU ini mampu menjadi rujukan perlindungan bagi korban? Seberapa jauh masyarakat paham tentang prosedur perlindungan dan hak yang mereka dapatkan? Dan bagaimana pendampingan diberikan untuk para korban body shamming ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul seiring dengan muncul dan disahkannya banyak UU perlindungan yang lain yang juga pasif dan belum sempurna ditegakkan. ‘Indonesia not ready’, adalah sebuah ungkapan ironi yang menunjukkan ketidaksiapan Indonesia di mata para pengamat dan masyarakat bahkan dunia dan juga digunakan sebagai tameng atas ketdakmampuan dan kegagalan yang biasa terjadi selama proses tersebut berjalan.
Dengan banyaknya usaha menegakkan hak dan kewajiban berkomunikasi, mengeluarkan pendapat terutama di media sosial, besar harapan juga atas kesehatan dan kewarasan bermedia dari masyarakat millennial sebagai pengguna. Menjadi user yang bijak, cerdas dan beretika adalah effek yang didambakan dari banyaknya aturan yang membatasi, banyaknya UU yang dibangun, karena keteraturan ini sebenarnya bagian dari usaha meng-harmonis-kan kehidupan sosial masyarakat, baik menggunakan media ataupun realitas yang bebas dari dunia maya.
Comments :