Fenomena citra dan pencitraan saat ini seolah tidak lagi bisa dipisahkan dari pemenuhan kebutuhan hidup paling puncak dari hierarki kebutuhan Abraham Maslow yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan ini menjadikan manusia berusaha mengaktualisasikan diri dengan berbagai cara. Banyaknya usaha mewujudkan eksistensi diri inilah yang terkadang membuat setiap yang berusaha mengindahkan norma dan etika, sehingga ‘pencitraan’ dianggap sebagai hal yang negative. Padahal ini adalah cara setiap manusia sebagai makhluk komunikasi mengelola semua pesan dari masing-masing untuk diterima dan dipahami oleh orang lain atau dalam hal ini public.

Usaha dan cara melanggengkan aktualisasi diri dan eksistensi saat ini sanggat difasilitasi oleh teknologi. Dengan berkembangnya teknologi 2.0 saat ini, Internet dan social media menjadi sarana utama masing-masing individu muncul mengelola citra mereka sesuai keinginan dan dikonsumsi secara langsung oleh public secara massal. Social media merupakan ruang baru yang muncul di masyarakat dan menjanjikan banyak hal yang berkaitan dengan image. Berbagai aplikasi saat ini tersedia untuk menunjang image yang mereka inginkan tampil melalui akun-akun yang mereka miliki.

Ruang media digital yang biasa disebut sebagai dunia maya ini adalah sebuah kondisi nyata yang membuktikan adanya realitas dramaturgi di masyarakat saat ini. Dramaturgi adalah konsep pemahaman yang percaya astas adanya front stage dan back stage. Dari ilmu sosial, konsep ini menjelaskan bagaiaman masing-masing manusia punya sisi tampak yang ditampilkan dan punya sisi lain yang tidak ditampakkan, sama seperti konsep panggung dan para penampil dramanya. Mereka amenjalankan banyak peran yang sangat mungkin jauh berbeda dengan karakter kesehariannya. Hal tersebut semakin dimudahkan dengan adanya sosial media yang meberikan mereka ruag menciptakan karakter yang sangat mungkin juga jauh berbeda dengan kenyataannya. Maka ruang tersebut benar dikenal dengan dunia maya, yang berarti semu dan kurang nyata.

Bagi masing-masing persona, sosial media ini bisa menguatkan karakter mereka sebagai sebuah usaha professional (bekerja), dan juga utuk mengukur adanya karya dalam proses aktualisasi diri. Tetapi memang realitas dramaturgi tidak lagi bisa dipisahkan. Banyak akun yang sudah tidak lagi memiliki fungsi sesuai seharusnya. Banyak akun yang diciptakan justru hanya demi menunjukkan eksitensi dunia maya yang mengharapkan prestasi semu dan apresiasi yang bukan pada tempatnya.

Banyak orang bangga dengan seberapa banyak teman yang mereka miliki melalui akun yang dimiliki di facebook, instagram, twitter, dan lain sebagainya, tetapi dalam kenyataanya tiak banyak orang yang bergaul dengannya. Banyak akun-akun yang menunjukkan atau menyajikan hal yang bertentangan dan mengindahkan orisnalitas, mengabaikan etika dan rela menipu para penikmat sajian akun tersebut denagn foto palsu, angle foto yang tidak sesuai kenyataan, lokasi yang dikaburkan demi disebut gaul atau popularitas.

Image management dalam persona, saatl ini beada pada level maksimal, dengan banyak teknologi yang ada, dengan konsumen yang juga banyak dan bersedia menikmati, dan dengan kebutuhan eksistensi yang terus mendesak. Sehingga menjadi sebuah wacana baru saat personal image dibahas dan dikaji dari sisi keilmuan.