Politisi dan Simbol
Oleh: Frederik Gasa, S.IP., M.Si.
Tahun 2018 dan 2019 tidak hanya tahun penuh rahmat bagi politisi (terutama yang menang dalam kontestasi pemilu), tapi juga menjadi tahun atau masa dimana akademisi dan praktisi politik mendapatkan begitu banyak bahan untuk dikaji. Paling tidak, kajian yang paling menarik saat ini adalah tentang simbol yang menjadi atribut politik menyongsong Pilpres 2019.
Beberapa minggu yang lalu, sempat ramai diperbicangkan di Twitter dan media sosial lainnya tentang #Jokowi2Periode dan #2019GantiPresiden. Tagar atau hashtag saat ini menjadi simbol dari komunikator politik (politisi) dalam mengkampanyekan niatan politik ke publik. Sasarannya jelas: netizen, karena tidak bisa dipungkiri internet dan atau media sosial menjadi ruang politik baru bagi masyarakat modern saat ini. Simbol ini menjadi semakin eksis manakala ia telah berubah menjadi gerakan nyata dan massif. Tidak hanya di ruang-ruang virtual, masyakarat pun terbelah di ruang nyata (real).
Konflik horisontal yang terjadi saat car free day tanggal 29 April 2018 antara dua kubu yang berbeda jagoan di Pilpres 2019 menjadi bukti nyata betapa kuatnya dampak simbol yang semula berada di ranah virtual terhadap kehidupan konkret masyarakat. Sejenak fenomena ini membuat penulis termenung untuk membayangkan bahwa illocutionary act Austin benar-benar nyata dalam #2019GantiPresiden. Persoalan yang mendasar adalah bukan pada perbedaan warna dan tulisan pada kaos kedua kubu, tapi pada perlakuan yang tidak sewajarnya yang harus dialami oleh supporter dari salah satu kubu. Kedangkalan berpolitik karena minimnya pendidikan politik adalah awal dari semua ini. Bahwa masyarakat kita masih belum cukup dewasa dalam menanggapi perbedaan: perbedaan warna kulit, agama, dan pilihan politik. Buruknya, kedangkalan berpolitik ini menjadi bahan komoditi intrik politisi.
Politisi tentu peka terhadap apa yang terjadi di dasar rumput. Mereka tahu persis isu apa yang bisa menggiring opin public masa. Penggunaan simbol-simbol populer tertentu menjadi pilihan yang paling rasional karena terbukti mampu menarik perhatian public. Emosi masa tersulut manakala kekuatan simbol melahirkan opini bersama yang pada akhirnya ingin dimanifestasikan melalui aksi. Politisi tertawa lepas karena tujuannya untuk menggiring opini berhasil.
Sisi positif yang bisa diambil saat simbol-simbol politis ini menjadi perhatian begitu banyak orang adalah bahwa masyarakat kita “mau” berpartisipasi dalam politik. Kedewasaan dalam berpolitik tentunya membutuhkan fase pembelajaran. Belajar dari konflik CFD 29/4 ini, masyarakat tidak seharusnya baper dengan “warna kaos” yang berbeda karena konsekuensi berdemokrasi adalah perbedaan pilihan. Sudah seharusnya kita belajar untuk menyadari bahwa perbedaan adalah ciri dan karakter bangsa Indonesia. Menerima perbedaan berarti mengkultuskan diri sebagai warga negara Indonesia.
Comments :