Secara geografis, negara kedaulatan Indonesia tersusun atas ribuan pulau yang terpencar dari Sabang hingga penghujung Marauke, sedangkan secara demografis Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan keberagaman budaya, bahasa, agama, ras dan golongan. Di negara sebesar dan seluas inilah media massa jadi memiliki peranan penting sebagai jembatan informasi dan komunikasi ke seluruh penjuru Nusanara baik melalui media televisi, radio, internet dan sosial media juga media cetak.

Sebelumnya pada masa pemerintahan pra reformasi kedaulatan media masa dan kebebasan berpendapat dalam menyampaikan informasi dikekang erat oleh pemerintah yang kemudian menyaring informasi apa saja yang bisa disampaikan kepada publik. Baru sejak datangnya era demokrasi Indonesia yang dimulai di zaman pemerintahan Bapak BJ. Habibie, insan pers dan hak masyarakat untuk menyatakan pendapat dibebaskan. Di era ini juga keragaman Indonesia membawa tantangan baru bagi media yang mengharuskan media untuk selalu netral dari keberpihakan dan berimbang dalam penyampaian informasi agar proses komunikasi ini tidak menyudutkan atau memancing sentimen golongan tertentu.

Saat ini kita bisa melihat bagaimana pers dan media menggunakan kebebasannya dalam mengumpulkan dan menyampaikan berita sehari-hari mulai dari politik ekonomi, olahraga hingga fenomena sosial masyarakat. Namun saat ini kita juga bisa menyaksikan bagaimana media berpihak pada satu kepentingan atapun satu golongan tertentu yang sebenarnya hal ini menyalahi prinsip, belum lagi ramainya praktek konglomerasi media yaitu saat media dikuasai oleh pribadi-pribadi yang juga terlibat dalam politik sehingga informasi dan berita yang disampaikan bertujuan untuk melayani kepentingan  politik konglomerat.

Dalam terminologi jurnalistik kita mengenal istilah “Cover Both Sides” yang bila diartikan secara sederhana artinya adalah berimbang tak memihak, tujuan dari prinsip ini adalah agar masyarakat bisa menerima informasi yang benar sebagaimana adanya tanpa tendensi apapun untuk menggiring masyarakat pada satu opini tertentu. Berdasar pada prinsip ini seharusnya media dijalankan oleh orang-orang independen yang tidak berhubungan atau terlibat dengan partai politik ataupun simpatisan satu golongan tertentu, namun sulit menampik kenyataan yang ada saat ini dimana media justru dimiliki oleh para tokoh yang bersaing di ranah politik Indonesia.

Kita melihat bagaimana masing-masing raksasa media memberitakan keunggulan pihak yang didukung dalam pilkada maupun pilpres dan menolak menampilkan sosok rival politik meskipun sebenarnya masyarakat perlu mengetahui secara objektif dan gambling mengenai kelebihan kedua pihak secara adil.

Peneliti dari Masyarakat Peduli Media, Muzayin Nazaruddin, memberikan dua contoh media televisi yang berpihak ke pemiliknya, yakni TV One milik Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Metro TV milik Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. TV One, kata Muzayin, lebih banyak menyiarkan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie dibanding partai dan calon presiden lainnya. “Demikian pula Metro TV yang lebih banyak menampilkan Surya Paloh dan narasumber dari Partai NasDem,” ujarnya. Keberpihakan tak hanya terjadi di televisi, tapi juga media cetak. Muzayin memaparkan Rakyat Merdeka memberi porsi pemberitaan dominan bagi Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos Group. “Dalam pemberitaan di Rakyat Merdeka, figur Dahlan Iskan selalu digambarkan secara positif,” Media Indonesia pun begitu. Media Indonesia, kata Muzayin, cenderung memberitakan Partai NasDem secara positif. “Jadi, Media Indonesia dan Rakyat Merdeka cenderung berpihak kepada pemiliknya.

Peneliti dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media, Amir Efendi Siregar, menyatakan hal yang senada dengan Muzayin. Dalam hasil penelitian PR2M, media massa, baik cetak maupun elektronik yang dimiliki politikus, sering digunakan untuk kepentingan pribadi. Amir mencontohkan RCTIOkezone.com, dan koran Seputar Indonesia. “Observasi yang dilakukan peneliti menemukan bahwa liputan-liputan di media dalam kelompok MNC tidak hanya bias pemilik, tapi juga ada tendensi untuk menyembunyikan kebenaran,” kata Amir.

Berbagai hal yang telah terjabar diatas pasti memiliki dampak negatif maupun positif, yang pertama saya akan membahas bagaimana dampak negatif yang muncul, yaitu pemilik media lebih mengutamakan urusan bisnis nya, sehingga mereka tidak memikirkan bagaimana konten-konten yang mereka buat, yang media pikirkan hanyalah bagaimana membuat nama partai yang mereka angkat bersinar dan diketahui masyarakat luas bahwa partai tersebut adalah yang terbaik, dan media tidak memikirkan bagaimana masyarakat yang ingin mengetahui sesuatu yang benar-benar bersifat aktual. Kedua, lemahnya fungsi kontrol jurnalistik, terutama yang menyangkut kepentingan pemilik. Hal ini terkait dengan kebebasan pers. Dalam arti, kebebasan hanya menjadi milik mereka yang menjadi penguasa. Dimana pemilik media menguasai dan mendominasi media semata-mata hanya untuk kepentingan mereka. Hal ini dapat dicontohkan jika seorang pemilik media tersandung kasus narkoba, maka media yang ia miliki tidak akan memberitakan, dan bahkan menutupi kasus tersebut , tetapi media yang lain akan memberitakannya. Tetapi, konglomesi media juga menimbulkan hal yang positif yang berasal dari internal. Ketika media massa dan partai politik bekerja sama, media massa mendapatkan sejumlah modal dari suatu partai, dan partai tersebut juga akan semakin dikenal oleh masyarakat karena mereka telah terikat kerjasama.

Media, stasiun televisi, dan politik memiliki hubungan yang saling berkaitan. Tetapi, dua stasiun televisi di Indonesia yang mempunyai tayangan khusus berita memiliki paham ideologi yang berbeda, seperti metro TV yang lebih berpihak kepada partai PDIP dan TV One yang lebih berpihak kepada partai Gerindra, sehingga tayangan yang mereka tayangkan di televisi pun juga berbeda, seperti sebaik-baik nya tingkah Prabowo-Hatta tidak mungkin dijadikan berita yang positif di stasiun TV metro, karena seperti yang kita ketahui bahwa metro TV memang lebih condong kearah Jokowi-JK, begitu juga sebaliknya, TV One juga tidak akan membangga-bangga kan pasangan PDIP tersebut, bahkan walaupun saat Jokowi-JK lagi naik daun dan menjadi bahan positif perbincangan masyarakat pun tidak akan menjadi hal yang positif di TV One.

Lalu, jika permainan media massa dan politik di Indonesia tetap terus menerus seperti ini, yang mana yang harus masyarakat percaya? Dari seluruh pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa saat ini media massa dan pers Indonesia belum berhasil menerapkan prinsip “Cover Both Sides” karena media masih sulit untuk bisa berdiri secara independen dari kepentinga-kepentingan konglomerat dan tujuan-tujuan politiknya. Alangkah baiknya bila media mampu kembali menjadi gerbang informasi yang netral dan tidak berkubu, biarlah kemudian masyarakat yang menilai dan memutuskan apa yang menjawab kebutuhan mereka karena media bertanggung jawab atas opini apapun yang terbentuk di masyarakat Indonesia yang heterogen dimana satu pemberitaan yang memihak pada golongan tertentu bisa menjadi dorongan bagi golongan lainnya untuk melakukan perlawanan. Namun perlu kita sadari bersama bahwa masyarakatpun harus menjadi lebih bijaksana dalam menerima dan mengolah informasi yang mereka terima dari media massa, senantiasa mengumpulkan dan membandingkan informasi dari banyak pihak agar tidak terjebak dalam paradigma politik konglomerasi media. Marilah kita menjadi bangsa yang lebih bijak dan bertanggung jawab.