Oleh: Galuh A. Savitri, S.I.Kom, M.I.Kom

 

 

Tahun 2018 dan 2019 mendatang akan menjadi tahun politik baik bagi regional maupun nasional. Seperti halnya di Jawa Timur yang akan segera melaksanakan Pilkada di pertengahan tahun 2018 ini. Tentu sudah tidak asing lagi bahwa sebelum dilaksanakannya Pilkada / Pilpres selalu didahului dengan adanya kegiatan kampanye. Perkembangan teknologi komunikasi kini juga berperan besar dalam kegiatan kampanye, seperti yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara bahwa media sosial merupakan alat kampanye masa kini (Wiwoho, 2018). Dengan adanya media sosial tentu sangat membantu kegiatan kampanye agar lebih masif dan hemat anggaran, namun tidak hanya efek positif yang dirasakan dalam penggunaan media sosial sebagai alat kampanye.

Salah satu efek negatif penggunaan media sosial dalam kampanye adalah adanya kampanye hitam atau sering kita kenal dengan black campaign. Black campaign dapat berupa tindakan penghinaan, fitnah, bullying, hingga menyebarkan berita bohong, rumors di berbagai media online seperti Twitter, Facebook, Tumblr, Chirpstory, Forum seperti Kaskus, Instragram, hingga pembuatan Website siluman yang begitu mudah dibuat secara gratis (Sianipar, 2015). Black campaign dapat dilakukan oleh perseorangan atau kelompok dengan tujuan pembentukan opini, pencemaran nama baik dan rekayasa karakter buruk calon kepala daerah melalui pemaparan data-data yang direkayasa sehingga terlihat valid dan terpercaya, yang mana hal ini dapat mempengauhi persepsi dan pandangan masyarakat tentang elektabilitas calon kepala daerah.

Dengan karakter media sosial yang real time dan tidak dapat dibatasi penggunaannya, maka tidak mengherankan jika kampanye hitam cukup banyak beredar. Hal ini diperburuk dengan karakter orang-orang yang terbiasa untuk mudah percaya tanpa mencari sumber data yang benar dan dengan begitu saja mudah membagikan posting-an yang ia baca di media sosialnya. Hal ini tentu menjadi sangat meresahkan, karena info yang beredar tidak lagi bisa dikendalikan dan seringkali menjadi pemicu pertengakaran, keributan atau bahkan ujaran kebencian dan kasus-kasus SARA.

Meski sudah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 1/2012 mengenai kampanye legislatif melalui media sosial atau jejaring sosial seperti facebook dan twitter, namun untuk Pilkada tidak diatur secara jelas. Sehingga dibutuhkan suatu sinergi antara pihak-pihak terkait seperti Kementrian, KPU, Bawaslu atau bahkan Kepolisian untuk mencegah dan mengantisipasi potensi pelanggaran kampanye/black campaign di dunia maya. Namun tidak hanya itu, yang diperlukan lagi adalah kesadaran masyarakat untuk mengecek kebenaran dan keaslian berita dan lebih berhati-hati untuk menyebarkan konten saat bermedia sosial atau berselancar di dunia maya.