Oleh: Nur Kholis, S.S., M.I.Kom.

Tulisan ini masih terkait dengan (JNK) Jambore Nasional Komunikasi yang saya ikuti di Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia pada tanggal 27-28 Maret 2018 lalu. JNK diselenggarakan oleh ASPIKOM, Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Korwil Jabodetabek. JNK adalah pertemuan para akademisi yang mewadahi dosen dan mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk saling bertukar informasi dan pikiran melalui forum diskusi dan kompetisi. Forum diskusi diselenggarakan melalui call for paper dan seminar nasional bertema “Optimalisasi Sinergi Prodi Ilmu Komunikasi Dengan Industri Era Digital”, sementara forum kompetisi yang rata-rata diperuntukkan bagi mahasiswa dirupakan dengan lomba pembuatan iklan layanan masyarakat, news presenter, fotografi dll.

Tulisan ini akan mengulas paparan Staf Ahli Menkominfo Republik Indonesia, Prof.Dr.Henri Subiakto dalam forum seminar nasional JNK 2018. Salah satu hal menarik dari pemaparan beliau adalah istilah Self Mass Communication. Beliau berpendapat bahwa saat ini adalah era di mana seseorang dapat dengan mudah dan bebas menampilkan dirinya di khalayak umum lewat media sosial. Bahkan, setiap orang bisa menjadi media, menciptakan konten, mendapatkan massa sampai penghasilan di era ini. Hal ini nampak jelas dengan munculnya fenomena selebgram, youtuber dan vlogger yang mampu meraup penghasilan jutaan rupiah dalam setiap endorsement. Fenomena ini mampu mengubah tren para pengguna jasa media dari konvensional menuju digital.

Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi dengan beberapa rekan yang bekerja di bidang advertising, saat ini banyak pengelola brand yang mengalokasikan dana promosinya kepada penggunaan influencer yang “hits” di ranah digital seperti youtube dan instagram untuk keperluan promosi dan brand building. Hal ini memang sangat logis karena berdasarkan data, jumlah gawai di Indonesia sudah mencapai kurang lebih 360 juta. Hal ini berarti jumlah gawai sudah melebihi total jumlah warga negara Indonesia dengan pengguna internet aktif didominasi kalangan muda usia 18-34 tahun. Lalu, apakah sah bila kalangan muda berlomba-lomba menyuarakan suara dan menampilkan dirinya di jagad maya? Saya berpendapat semua itu sah dengan “kepantasan” sebagai syarat mutlaknya. Seseorang yang berniat menjadi pribadi yang aktif di media sosial harus mengetahui nilai-nilai kepantasan yang ada dalam lingkungannya. Nilai kepantasan ini harus melebur dalam konten yang diunggah dalam media sosial mulai dari isi pesan sampai cara menyampaikannya. Apabila konten yang diunggah sudah sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku, maka besar kemungkinan konten tersebut akan diterima dengan baik oleh khalayak. Penerimaan dari khalayak adalah awal yang harus dicapai untuk menjadi pribadi yang berbobot dalam mass self communication era.