Oleh: Nur Kholis, S.S., M.I.Kom.

Beberapa waktu lalu, jagad dunia online di Indonesia dihebohkan dengan istilah “hoaks membangun”. Istilah ini menjadi viral setelah Djoko Setiadi, Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) menyatakan bahwa ada 2 macam hoaks, yaitu positif dan negatif. Menurut Sandi, hoaks positif diperbolehkan dan ia menyebutnya dengan istilah “hoaks membangun”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.’ Sementara itu, dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’.

Berdasarkan definisi harfiah tentang hoaks tersebut, saya berpendapat bahwa hoaks tidak dibenarkan untuk digunakan, apapun alasan dan tujuannya. Hoaks adalah berita bohong yang dibuat dengan sengaja. Artinya, pembuat hoaks mengetahui persis bahwa berita yang ia buat tidak benar. Efek berita palsu atau hoaks sangatlah berbahaya. Sekelompok masyarakat bisa jadi akan membenci kelompok tertentu karena ujaran kebencian yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, efek berita palsu ini akan memungkinkan para pembuat keputusan bisa mengambil langkah yang salah.

Prinsip kebenaran adalah nilai mutlak dari penyebaran sebuah informasi. Informasi yang diberikan oleh komunikator kepada komunikan harus faktual, sesuai fakta sehingga efek yang muncul akibat penyebaran informasi tersebut bisa dipertanggung jawabkan sepenuhnya. Menurut sebuah sumber, hoaks atau berita palsu ternyata sudah beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Tentu, saat itu pembuktian kebenaran dari sebuah berita lebih sulit dilakukan mengingat sumber berita yang terbatas. Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini. Internet membuat batasan-batasan menjadi tipis, termasuk akses mencari berita. Anda dapat menemukan informasi apapun yang Anda butuhkan hanya dengan sekali klik. Namun, satu hal penting yang kerap menjadi tantangan adalah, apakah sumber dan isi berita tersebut dapat dipertanggung jawabkan?.

Literasi media adalah jawaban atas permasalahan tersebut. Menurut Afderheide, media literasi adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan atau infomasi. Kemampuan literasi media akan meningkatkan fungsi kontrol dari penerima berita, sehingga ia mampu secara jelas melihat kebenaran dari sebuah berita. Kemampuan literasi media juga akan berdampak pada sikap dari seseorang terhadap sebuah berita. Ia akan menyikapi setiap pesan dengan sangat objektif dan bertanggung jawab. Hal ini, tentu akan meningkatkan kualitas hidup baik secara pribadi maupun kelompok. Literasi media, kini harga mati. Lalu, sudah seberapa giat Anda meningkatkan kemampuan literasi media?